Ulumul
Hadits
A. PENDAHULUAN
Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah
al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan
hadits sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang
semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian
yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa
kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam diwan hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘âdil, dhâbithat au fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “al- Jarh wa al-Ta’dil’.
Tulisan ini berusaha mengetengahkan perngertian “al- Jarh wa al-Ta’dil’, dasar-dasar kebolehan melakukan “ al-Jarh wa al-Ta’dil’, sebab-sebab perawi di jarh dan di ta’dil, cara-cara melakukan Jarh dan ta’dil dan pertentangan antara jarh dan ta’dil.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam diwan hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘âdil, dhâbithat au fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “al- Jarh wa al-Ta’dil’.
Tulisan ini berusaha mengetengahkan perngertian “al- Jarh wa al-Ta’dil’, dasar-dasar kebolehan melakukan “ al-Jarh wa al-Ta’dil’, sebab-sebab perawi di jarh dan di ta’dil, cara-cara melakukan Jarh dan ta’dil dan pertentangan antara jarh dan ta’dil.
B. PENGERTIAN
AL-JARH DAN AL-TA’DIL
Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata Kerja جرح يجرح جرحا
yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir[1],
selanjutnya dikatakan bahwa al-Jarh mempunyai arti“ mengaibkan”seseorang yang
oleh karenanya ia menjadi kurang”. Disamping itu juga mempunyai arti menolak
seperti dalam kalimat الحاكم الشاهد جرح “ hakim itu menolak saksi ” .
Menurut Istilah,al- Jarh ialah :
Menurut Istilah,al- Jarh ialah :
هو
ظهور وصف في الراوي يسلم عد ا لته ا ويخل حفظه
وضبطه مما يتر تب عليه سقوط روايته اوضعفها ورد ها
“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak
keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa
yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak ” . [2]
Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna
Al-Qaththan, Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi
yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya,
sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian
ditolak.[3]
Sedangkan Ta’dil menurut bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan).[4] Adapun Pengertian ta’dil menurut ahli hadis antara lain:
Sedangkan Ta’dil menurut bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan).[4] Adapun Pengertian ta’dil menurut ahli hadis antara lain:
وصف
الراوى بصفات تزكية فتظهر عدالته ويقبل خبره
“ Sifat rawi dari segi diterima dan nampak
keadilannya”.[5] Sedangkan menurut Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy
definisi ta’dil adalah:
وصف
الراوى بصفات توجب عدالته التى هي مدار القبول لروايته
“’Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang
tersebut adil, yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.[6]
Dengan demikian menurut Ajaz al-Khatib, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah
suatu ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau
ditolaknya riwayat mereka.[7]
Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-ta’dil dalam satu
definisi, yaitu:
علم
يبحث عن الرواة من حيث ماورد فى شأ نهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة
“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat
menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan
mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.[8]
Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi seperti
dikutip Faturahman mendefinisikan Ilmu Jarh wa Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang
membahas tentang Jarh dan Ta’dil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafazd
tertentu dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut dan Ilmu
Jarh wa Ta’dil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijal al- Hadits.
Dan dari berbagai macam pengertian itu, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
Dan dari berbagai macam pengertian itu, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
C. DASAR
KEBOLEHAN MELAKUKAN JARH DAN TA’DIL
Pada dasarnya menilai pribadi seseorang dan selanjutnya menyatakan
kepada orang lain adalah sesuatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh syara’,
bahkan dapat diancam dengan dosa apabila penilaian tersebut bersifat negatif,
seperti memberitakan tentang cacat dan kelemahannya kepada orang
lain.[9] Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib kepribadian
perawi. Oleh karena itu dipermasalahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan
maksud firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 dan apakah ini
berarti kita tidak menentang anjuran hadits Nabi yang menyatakan:
من
ستر اخاه المسلم في الدنيا فلم يقضه ستر الله له يوم القيا مة (رواه أحمد)
“ Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya (yang muslim) di dunia,
maka allah akan menutupi baginya pada hari qiyamat”(H.R. Ahmad).
a.
Menanggapi
permasalahan ini Ajaz al-Khatib justru berpandangan sebaliknya dan mengatakan
bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang umum telah menunjukan kewajiban melestarikan
ilmu ini karena dengan menggunakan ikhwal para perawi akan nampak jalan yang
lurus untuk memelihara al-Sunnah(al- Hadits).
Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6: [10]
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS. Al Hujurat: 6).
Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6: [10]
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS. Al Hujurat: 6).
b.
Firman
Allah dalam Q.S. al-Baqarah ayat 282.
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah [11] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Menurut Ajaz al-Khatib yang dimaksud dengan “ adalah orang-orang yang kamu ridhai agama dan keimanannya. Disamping dalil-dalil di atas beberapa keterangan menyatakan bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya, maka al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Kepentingan dasar untuk melakukan al-Jarh dan ta’dil ini adalah semata-mata bekhidmat pada syari’at Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.[12]
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah [11] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Menurut Ajaz al-Khatib yang dimaksud dengan “ adalah orang-orang yang kamu ridhai agama dan keimanannya. Disamping dalil-dalil di atas beberapa keterangan menyatakan bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya, maka al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Kepentingan dasar untuk melakukan al-Jarh dan ta’dil ini adalah semata-mata bekhidmat pada syari’at Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.[12]
D. SEBAB-SEBAB
PERAWI DIKENAKAN JARH DAN TA’DIL DAN SYARAT SEORANG KRITIKUS
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa
sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya
berkisar disekitar lima
macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.[13]
macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.[13]
Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara.
Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan
dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan
Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai
keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
Mukhalafah
ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat
menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
Yang
dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
Jahalah
al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal
identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
Sedangkan
Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa
perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat
perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang
rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan
menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan
kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun
syarat-syarat yang diperlukan, yakni:[14]
Haruslah
orang tersebut ‘âlim (berilmu pengetahuan),
Bertaqwa,
Wara’
(orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil
dan makruhat-makruhat),
Jujur,
Belum
pernah dijarh,
Menjauhi
fanatik golongan,
Mengetahui
sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila
persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
E. CARA
MELAKUKAN JARH DAN TA’DIL
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk
mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena
itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang
pada pokoknya meliputi:
Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi
secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib
mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan
kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat
dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan
dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan
Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam
mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan
para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
لم
يكن تستقيم اللسان
“ Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih.
Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya
tidak pernah disebutkan bahwa si fulantsiqah atau‘adil karena shalat, puasa,
dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan
tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu
banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan
misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia
sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau
pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk
mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua
jalan:[15]
Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi
bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin
Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh
lagi.
Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan
keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
Adapun
untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperi pada cara mengetahui
keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.
1.
Tingkatan
dan Lafadz-lafazd Jarh dan Ta’dil
Melalui cara al- Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
Melalui cara al- Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
2.
Tingkatan
lafadz ta’dil, secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai
kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai
berikut.[16]
Pertama, أو ثق النَّاس , أ ضبط
النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْرٌ
(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya),
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ
(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ
(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, , متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابطثبت
(kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو
(benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله
(syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafalta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.[17]
(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya),
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ
(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ
(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, , متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابطثبت
(kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو
(benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله
(syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafalta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.[17]
3.
Tingkatan
lafadz al-Jarh. Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih
mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling
ringan jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi
yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: أكذب
الناس، ركن الكذب
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع
)pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ, ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ
(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ثق منه ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, غير أو
(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.[18]
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع
)pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ, ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ
(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ثق منه ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, غير أو
(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.[18]
F. PERTENTANGAN
JARH DAN TA’DIL
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat
terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya
mentajrihnya.
Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui
sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui
sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
a.
Terkadang
sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga
mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui
perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka
menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib[19] sebenarnya hal tersebut
bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang
menta’dil.
b.
Terkadang
pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah,
sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui
perawi itu sebagai oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun
dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang
perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan
diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat
berbagai pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
Jarh
didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak
dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat
jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat)
melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh
orang yang menta’dil.[20]
Ta’dil
didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang
mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini
kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama
lain.
mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini
kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama
lain.
Apabila
jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya,
kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kitatawaquf
dari
mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
Ta’dil
harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi
menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali
setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang
perawi.
Menurut
Ajaz al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik
mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat urgen bagi terlaksananya bagi pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits palsu.
Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat urgen bagi terlaksananya bagi pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits palsu.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992
Ma’luf, Louis. Kamus al-Munjid, al-Mathba’ah al-Bijatsu Kuliah, Beirut, 1935.
al-Khatib, Ajaz. Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Dar al-Fikr, Damaskus,1989.
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. Prof. Dr. Pengantar Ilmu hadits, PT. Pustaka Rizki Putra Semarang, 2010.
Rahman, Fatchur., Ikhtisar Musthalah al-Hadits, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1974.
Yuslem, Nawir, Dr. M.A. Sembilan Kitab Induk Hadis, Hijri Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Suparta , Munzier. Ilmu Hadis, Cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2009.
Ma’luf, Louis. Kamus al-Munjid, al-Mathba’ah al-Bijatsu Kuliah, Beirut, 1935.
al-Khatib, Ajaz. Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Dar al-Fikr, Damaskus,1989.
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. Prof. Dr. Pengantar Ilmu hadits, PT. Pustaka Rizki Putra Semarang, 2010.
Rahman, Fatchur., Ikhtisar Musthalah al-Hadits, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1974.
Yuslem, Nawir, Dr. M.A. Sembilan Kitab Induk Hadis, Hijri Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Suparta , Munzier. Ilmu Hadis, Cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2009.
[1] Louis
Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy,
1976), h. 83.
[2] Ajaz
al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar
al-Fikr, 1975), h. 260.
[3] Syaikh
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman,
Lc.), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 82.
[4]Drs. H. Munzier
Suparta, M.A., Ilmu Hadis, Cet. Ke-6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), h. 31.
[5] Ibid, h.
262.
[6] Prof. Dr.
Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 279.
[7] Ajaz
al-Khatib,op.cit., h. 261.
[8] Drs. H.
Munzier Suparta, M.A, Op.cit., h. 31-32.
[9] Dr. Nawir
Yuslem, M.A., Sembilan Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama,
2006), h. 171-172.
[10] Al-Qur’an
dan terjemahnya, Depag R.I. 1992
[11] Bermuamalah
ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
[12] Ajaz
Al-Khatib, op.cit., h. 267
[13] Prof. Dr.
Teungku M. Hasbi as Shidieqy, op.cit., h. 280-281.
[14] Drs.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadits, Cet. Ke-1, (Bandung:
PT Al-Ma’arif, 1974), h. 310-311.
[15] Ajaz
Al-Khatib, op.cit., h. 267
[16] Dr. Nawir
Yuslem, M.A., op.cit.,h. 173.
[17] Ibid., h.
174.
[18] Ibid., h.
174-175.
[19] Ajaz
Al-Khatib, op.cit., h. 267.
[20] Ibid, h.
267.
No comments:
Post a Comment