PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Dalam dunia pendidikan, ada beberapa aliran yang mempengaruhi
tingkah laku manusia, di antaranya adalah Empirisme, yaitu aliran yang
beranggapan, bahwa manusia dalam perkembangan pribadinya ditentukan oleh pengalaman
dunia luar. Sementara Nativisme berangapan sebaliknya, bahwa manusia dalam
perkembangannya ditentukan dari dalam/pembawaan. Dan jika yang pertama dianggap
sebagai tesa, maka yang kedua merupakan antitesa. Adapun sintesa dari kedua
aliran di atas adalah Konvergensi, yang beranggapan bahwa perkembangan manusia
di samping ditentukan oleh faktor bakat/ pembawaan juga oleh faktor lingkungan
pengalaman/pendidikan, tergantung dari faktor mana yang lebih dominan.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia sejak dilahirkan sudah
membawa potensi, yakni potensi dasar/naluri bertuhan, sehingga dengan begitu,
secara fitri manusia beragama, tetapi mengapa dalam perkembangannya ternyata
ada yang menjadi ateis, musyrik dan sebagainya. Al-Qur’an menyatakan adanya faktor
pembawaan, faktor keturunan, dan faktor pendidikan secara bergantian. Contoh
kisah Nabi Ibrahim AS. yang tumbuh dari lingkungan keluarga paganis, dan si
kafir Kan‘an putra Nabi Nuh AS. tumbuh dari lingkungan yang salih. Sementara
Nabi Muhammad SAW. dilahirkan dan didewasakan dalam lingkungan yang menyimpang
dari segalanya, yakni pagan, musyrik dan sebagainya, namun demikian beliau
tumbuh menjadi manusia yang paripurna, karena adanya faktor X
sebagai iradah (kemauan) manusia dan hidayah (petunjuk)
Allah SWT.
B.
RUMUSAN
MASALAH
a.
Jelaskan
faktor-faktor yang terdapat dalam tingkah laku manusia?
b.
Jelaskan
sifat-sifat tingkah laku manusia dalam as-sunah!
PEMBAHASAN
A.
TINGKAH
LAKU MANUSIA MENURUT AL QUR’AN
Terdapat beberapa faktor dalam tingkah laku manusia menurut Al
Qur’an diantaranya adalah:
1. Faktor Pembawaan
Yang dimaksud dengan faktor pembawaan di sini adalah suatu keadaan
pada diri manusia dan telah ada sejak lahir tanpa adanya unsur ataupun pengaruh
dari manapun termasuk dari orang tuanya sendiri. Atau dengan kata lain, suatu
keadaan yang dibawa langsung berkat karunia Allah SWT. Berdasarkan penelitian
penulis terhadap ayat-ayat yang mengandung bahasan atau yang dapat dikaitkan
dengan faktor pembawaan, sedikitnya ada dua ayat dalam surat yang keduanya
dalam kategori ayat Makkiyyah, yaitu :
a.
Surat
al-A‘raf : 172 :
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu ? “Mereka menjawab” : betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”[1]
b.
Surat
al-Rum : 30 :
“Maka hadapkanlah wajahmu
dengan tunduk kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[2]
Dari Surat al-A‘raf ayat 172 tersebut dapat dipahami bahwa sejak
dilahirkan, bani Adam (semua manusia tanpa kecuali) bukan tidak membawa
apa-apa, bukan tidak berpotensi, bukan kosong sama sekali, melainkan telah
memiliki kecendrungan dasar atau naluri bertuhan, bahkan telah mengikat
perjanjian primordial dengan Allah SWT. Dengan demikian pada dasarnya semua
manusia itu monoteis sebelum datangnya pengaruh dari luar yang membelokkannya.
Menurut Francois L. Patton yang dikutip oleh Mukti Ali, monoteis
adalah agama primitif atau agama fitrah manusia. Dia mengatakan : “ yang
terlebih penting untuk dicatat adalah, bahwa terlepas dari pernyataan kitab
suci prihal ini, terdapat alasan kuat bahwa politeisme, fetitisme dan
keberhalaan merupakan pengrusakan dari agama yang lebih penting sebelumnya.
Lima ribu tahun yang lalu, bangsa Cina adalah monoteis bukan henoteis, dan
monoteis ini ada dalam bahaya pengrusakan, seperti kita saksikan, lewat
penyembahan alam di satu pihak, tahayyul di pihak lain.[3]
Pengertian di atas, bahwa manusia terlahir dalam keadaan bernaluri
ke-Tuhanan Yang Mahaesa lebih jelas dapat disimak dalam surat al-Rum ayat 30
yang menyatakan bahwa :
·
Semua
manusia itu diciptakan berdasarkan fitrahnya, yaitu naluri beragama/tauhid.
Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adim, al-Hafid Ibn
Kasir mengatakan : sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan manusia dalam keadaan
ma’rifat kepadaNya, mentauhidkanNya dan bahwasanya tidak ada tuhan selain Dia,
sebagaimana firmanNya : Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhamu ?,mereka menjawab :
Benar (Engkau tuhan kami)”.[4]
·
Tidak
ada perubahan bagi ciptaan Allah, bahwa semua manusia itu tanpa kecuali
terlahir dalam keadaan fitri (beragama/bertauhid). Al-Hafid Ibn Kasir
mengatakan : Ulama’ yang lain berpendapat mengenai ayat : La tabdila li
khalqillah adalah kalam khabar yang mengandung arti, bahwa Allah SWT.
menciptakan semua manusia (tanpa terkecuali) itu dalam keadaan fitri yang
berasal dari benih yang baik (lurus), dan tak seorangpun dilahirkan
melainkan dalam keadaan seperti itu, dan ini tidak berbeda antara manusia yang
satu dengan lainnya.[5]
Dan hal ini adalah termasuk ajaran agama (Islam) yang lurus,
yang disyari‘atkan sesuai dengan fitrah manusia.
Dalam kerangka psikoanalisis Eric Fromm menyatakan, bahwa manusia
itu selalu ditarik oleh unsur jasmaniah dan rohaniahnya sekaligus. Dengan kata
lain, dua unsur kehidupan manusia, jasmani dan rohani selalu tarik menarik.
Inilah yang menimbulkan ketimpangan (disharmoni).
Oleh karena itu, salah satu fungsi diturunkannya syari’at
adalah untuk memecahkan masalah ketidak seimbangan tersebut. Contoh yang jelas
adalah perintah puasa Ramadan. Dalam proses berpuasa itu manusia berusaha
mencari keseimbangan baru, baik pada tingkat individu maupun sosial .
Pada tingkat individu, puasa memberikan kesempatan bagi manusia
agar mampu mengendalikan dirinya. Di satu pihak, ia harus mengurangi kegiatan
pemenuhan hasrat seksual jasmaniahnya dengan menahan makan, minum, hubungan
seksual dan amarah. Di pihak lain, ia harus menyuburkan perkembangan batinnya
dengan meningkatkan peribadatan.
Pada tingkat sosial, puasa diikuti dengan pembayaran zakat fitrah
(bagi yang mampu) diperuntukkan bagi fakir miskin dan yang membutuhkan guna
menciptakan keseimbangan sosial yang mungkin telah rusak karena aktifitas
bisnis dan pertumbuhan ekonomi.[6]
Itulah manusia secara fitri memang beragama (bertauhid), yang
secara alamiyah memang berpotensi baik. Adapun dalam kenyataannya ada (justru
cendrung banyak) yang tidak beragama (Islam) seperti ateis dan musyrik, ataupun
yang mengklaim dirinya beragama tetapi perbuatannya kosong dari muatan
nilai-nilai religius –misalnya—munafiq, cinta dunia dan takut mati, penipu,
koruptor, dikuasai nafsu-nafsu jahat dan lainnya, maka hal di atas perlu
pembahasan lebih lanjut.
2. Faktor
Keturunan.
Faktor keturunan adalah sesuatu keadaan yang ada pada diri manusia
sebagai akibat keterpengaruhan yang diperoleh dari orang tuanya atau
orang-orang yang secara genetik ada hubungan darah dengannya.
Faktor heriditas (keturunan) sendiri merupakan sesuatu yang
tergolong dalam kelengkapan dasar manusia, karena ia telah ada pada diri
manusia sejak masih dalam bentuknya sebagai plasma benih, yang kemudian menjadi
salah satu dasar di mana manusia di atas dasar itu mengalami suatu proses
pertumbuhan. Dasar ini tak dapat diubah untuk dijadikan bentuk lain. Namun yang
diturunkan bukanlah dalam bentuk tingkah laku melainkan strukturnya. Jadi
keturunan berlangsung melalui sel benih bukan sel badan. Kecakapan,
pengetahuan, sikap yang ada pada orang tuanya yang diperoleh melalui belajar,
menurut prinsip perkembangan tidak dapat mempengaruhi sel-sel benih, tetapi
terjadi dengan perantaraan proses-proses yang mengandung perubahan tertentu
dalam diri seseorang.[7]
Bagaimana kalau struktur itu kemudian mempengaruhi kepribadian atau
tipe seseorang, secara implisit hal ini menunjukkan bahwa faktor keturunan
memegang peranan pada pembentukan tingkah laku, hanya saja tidaklah mutlak.
Sejauhmana pengaruh keturunan dapat diukur dengan melihat bahwa
kita semua adalah keturunan Adam dan Hawa. Mereka baik-baik, namun keturunannya
tidak semua baik-baik. Sejauhmana pula sebenarnya batas keturunan dapat
dipertahankan kemungkinan pengaruhnya, hal mana membutuhkan penelitian lebih
lanjut. Dan ini problem yang masih mengaburkan pembicaraan setiap masalah
faktor keturunan hubungannya dengan masalah perkembangan. Selebihnya
memunculkan teori pentingnya upaya pendidikan.
Kiranya untuk hal keturunan perlu kita melihat kisah-kisah nyata,
semisal kisah Nabi Ibrahim AS. dalam hubungannya dengan prilaku ayahnya. Dan
perlu pula melihat bagaimana kenyataan yang dikisahkan al-Qur’an tentang Nabi
Nuh AS. dan putranya. Hal ini membuktikan ketidakmutlakan faktor keturunan.
Dugaan kita mengenai masalah keturunan ini adalah pentingnya memilih istri yang
baik-baik. Artinya, al-Qur’an menawarkan kepada kita dengan kisah itu untuk
melihat siapa sebenarnya yang kurang patut disebut keturunan baik-baik, ibunya
atau ayahnya. Ibu Nabi Ibrahim tidak terkisahkan sebagai wanita durhaka. Ibu
Nabi Ibrahim melahirkan Nabi Ibrahim, sedangkan istri Nabi Nuh melahirkan
Kan’an sebagai anak durhaka. Asumsi kita adalah ibu lebih erat, lebih dekat
hubungannya secara mendasar sejak kecil dengan anaknya ketimbang dengan
ayahnya. Ibu lebih sering memungkinkan mengadakan hubungan pendidikan dengan
anaknya. Namun bagaimanapun, hal ini menunjukkan bahwa keturunan tidak mutlak
mempengaruhi perkembangan individu seseorang.
3. Faktor Pendidikan
Mengenai pentingnya faktor pendidikan, kisah Nabi Musa patut dikaji
secara cermat. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga Fir’aun yang lalim, tetapi
istri Fir’aun, ia justru sebagai penentang Fir’aun pelindung keimanan dan bakat
yang ada pada Nabi Musa. Bagaimana kedudukan ibu jika jasanya dianalogikan
dengan pendidikan. Di sinilah arti penting beberapa usaha, mulai dari do’a
sejak mengandung dan begitu anak dilahirkan. Semua menunjuk pentingnya
perhatian kita kepada penyelamatan, pemeliharaan dan upaya pengembangan fitrah
manusia.
Untuk memperjelas uraian di atas perlu dilihat ayat 10 surat
al-Tahrim :
“Allah menjadikan istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi
orang-orang kafir. Keduanya berada dibawah pengawasan kedua hamba Allah yang
salih, diantara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu khianat kepada kedua
suaminya; maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari
(siksa) Allah; dan dikatakan kepada keduanya; masuklah kedalam neraka
bersama-sama orang yang masuk (neraka).”
Ayat di atas menunjukkan kemungkinan kegagalan Kan’an adalah
sebagai akibat asuhan ibu durhaka. Kemudian mengenai kemungkinan terpeliharanya
fitrah dalam keluarga terdekat beriman, ditamsilkan pada ayat 11 dan 12
surat al-Tahrim:
“Dan Allah membuat isteri Fir’aun (menjadi) perumpamaan bagi
orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku
sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan
(dari) perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim. Dan Maryam
puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya
sebagian ruh (ciptaan) Kami; dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan
kitab-kitab-Nya, dan dia termasuk orang yang taat.”
Ayat di atas menunjuk pentingnya aspek bimbingan, sekaligus penting nya iradah (kemauan)
sebagai taufiq - hidayah Ilahi . Ibu salihah yang menyusui dan mengasuh anaknya
lebih berpengaruh sebagai lingkungan efektif dalam rangka penyelamatan awal
bagi perkembangan fitrahnya. Musa AS disusui ibunya dan diasuh oleh isteri
Fir’aun yang salihah, tumbuh menjadi anak baik, bahkan sebagai rasulullah;
demikian pula Isa AS disusui dan diasuh oleh ibundanya (Maryam) yang salihah,
tumbuh menjadi pemuda yang hebat dan juga menjadi rasulullah.
Dalam kaitan ini surat al-A’raf ayat 58 menjelaskan:
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin
Allah; dan tanah yang tidak subur, tanman-tanamannya hanya tumbuh merana.
Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran Kami bagi kaum yang bersyukur.”[8]
Ali Abdul Adhim menjelaskan ayat tersebut sebagai analogi bagi
pentingnya lingkungan yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan individu
seseorang.[9]
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, sampai dia bisa
berbicara. Sesudah itu, maka orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani
atau Majusi.” ( Diriwayatkan oleh Ahmad, ad-Darimiy, an-Nasaiy, Ibn Jarir,
Ibn Hibban, at-Tabraniy dan al-Hakim dari al-Aswad bin Suwaid)
Hadis di atas
mempunyai sebab wurud yang menarik, yaitu: al-Aswad bin Suwaid bercerita, dalam
suatu peperangan dia bersama Rasulullah SAW. Peperangan tersebut terjadi sangat
dahsyat, hingga dua anak dari fihak kuffar terbunuh. Karena semangat jihad yang
tinggi, kemenangan berada di pihak kaum muslimin. Namun dengan kabar
terbunuhnya dua anak dari pihak kuffar tersebut, Rasulullah SAW. dengan nada
kesal bertanya: “Mengapa mereka berlebihan sampai membunuh anak-anak ?”
Salah seorang sahabat menjawab: “Wahai Rasulullah, mereka adalah anak-anak
orang musyrik juga.” Lalu beliau bersabda: “Ingatlah, jangan
kalian membunuh anak-anak! Ingatlah, jangan kalian membunuh anak-anak !”
Kemudian beliau bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah…”
Dari
hadis dan sebab wurudnya di atas dapat dipahami:
(Sekali lagi) bahwa semua anak (tanpa kecuali) terlahir dalam
keadaan berpotensi baik, bernaluri tauhid. Bahwa fitrah tersebut bersifat
terbuka, dapat dipengaruhi faktor dari luar, dan pendidikanlah (yang dalam
hadis ini dilambangkan dengan orang tua) yang mempengaruhi perkembangan anak
selanjutnya. Faktor pendidikan di sini dapat berupa pendidikan keluarga,
pendidikan sekolah ataupun pendidikan masyarakat/lingkungan (atau yang lazim
disebut dengan tri pusat pendidikan).
4. Faktor Kemauan (Iradah)
Faktor intern sangatlah penting hubungannya dengan daya pembentukan
kepribadian menyesuaikan dengan pola-pola kepribadian menurut al-Qur’an. Faktor
itu meliputi fungsi jiwa rohani seperti akal, nafsu, roh, kalbu, dan menurut Nabi
SAW. yang terpenting di antara unsur-unsur itu ialah kalbu atau hati, yang di
dalamnya terdapat hasrat atau iradah.
Ternyata lingkungan tidak dapat mempengaruhi jiwa yang kuat
sempurna itu. Nabi Muhammad SAW. dilahirkan dan didewasakan di tengah lingkungan
segalanya, baik keluarga atau masyarakatnya yang sudah jauh menyimpang dari
tauhid atau fitrah manusia. Namun kenyataannya beliau justru yang memperbaiki
suasana kebobrokan itu. Di sini mudah dibaca adanya faktor lain sebagai
rahasia. Itulah faktor X sebagai iradah (kemauan) manusia
dan hidayah (petunjuk) Ilahi. Wa Allahu a‘lam.
Karena adanya hasrat dan niat itu maka manusia mencapai
kemampuannya dalam kebebasan iradah atau kehendak menyingkapkan tabir
kegelapan untuk menemukan cahaya iman. Karena iradah ini, Allah
membebankan perintah ibadah kepada manusia dan karenanya maka dijanjikan pahala
dan ancaman sebagai siksaan. Dan Allah tidak membebankan sesuatu kepada manusia
di luar kemampuannya.[10]
Niat kuat dari hamba Allah untuk berbuat sesuatu, disertai iman
kuat pula, akan dapat menyingkirkan krikil-krikil tajam yang senantiasa ada di
sekitarnya. Nabi Muhammad SAW. telah sukses sebagai pendidik dalam tempo
singkat, di antaranya karena adanya iradah (kehendak) yang kuat, niat
yang mantap, didukung oleh iman kuat pula. Ali Abdul Adhim menyebut
faktor iradah, sebagai tak kurang pentingnya dalam upaya mempengaruhi
kepribadian atau tingkah laku seseorang, memberi bukti dengan menunjuk apa yang
tertera dalam surat al-Balad.
Ayat-ayat pada surat tersebut berkesimpulan membuktikan bahwa Allah
SWT. menyelamatkan Rasul dari pengaruh lingkungan (paganisme, dosa, dan sesat),
sejak beliau kecil hingga dewasa. Diisyaratkan oleh Allah bahwa Dia memberi
bekal kepada manusia kekuatan material dan spiritual. Allah memberikan kepada
manusia pancaindra, akal, petunjuk, ilham akan jalan menuju kebaikan dan
kejahatan. Tak lain, faktor iradah atau kehendak dengan niat yang kuat itulah
yang mendorong Nabi beramal demikian gigih. Sabdanya : “Tiada lain
(bahwasanya) amal-amal itu tergantung pada (bagaimana) niatnya.”
Kehendak dari Allah pada hakekatnya adalah mengajar kepada manusia
untuk memilih dan membuat keputusan serta bertanggung jawab atas pilihannya,
atas keputusannya yang telah diambil. Sedangkan kehendak dari manusia pada hakekatnya
adalah belajar memilih, menentukan suatu keputusan dengan penuh tanggung jawab.
Kehendak yang dibarengi dengan niat, berarti suatu tekad untuk melangkah menuju
suatu proses dalam rangka memenuhi tuntutan hatinya. Pada adanya niat itu pula
letak penting dan keberartiannya hati, hubungannya dengan kehendak atau iradah.
Jadi hubungannya dengan tingkah laku fitri manusiawi, nafsu dan
akalnya selalu bertarung berebut kekuasaan di hati, sangatlah membutuhkan
kesehatan akal yang tentu harus ditopang dengan ilmu, belajar dan pendidikan.
Faktor suasana hati kiranya lebih penting dan dominan dalam perkembangan
kedewasaan manusia dibanding dengan dua faktor lainnya, yaitu pembawaan dan
lingkungan. Demi pentingnya aspek intern ini, hampir saja dasar keturunan dan
lingkungan tidak berarti sama sekali. Faktor hidayah sebenarnya mengiringi
pilihan kebebasan dan ikhtiar manusia sendiri seperti telah disinggung di atas.
Hanya saja mana mungkin bagi manusia pada umumnya akal bisa sehat tanpa melalui
belajar dan pendidikan, meskipun hanya sekedar sebab, dan bukan merupakan
jaminan. Yang jelas akal sehat turut menentukan suasana salihnya hati, sebagai
sumber salihnya amal.
B.
TINGKAH
LAKU MANUSIA MENURUT AS SUNNAH
Tingkah laku manusia dalam sunnah terbagi ke dalam beberapa sifat,
diantaranya:
1.
Sifat
Jujur
Jujur
dalam Bahasa Arab berarti benar (siddiq). Benar disini yaitu benar dalam
berkata dan benar dalam perbuatan.[11] Hadis
Nabi mengatakan :
عن ابي مسعود رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم,
عليكم بالصدق, فان الصدق يهدى الى البر, وان البر يهدى الى الجنة, وما يزال الرجل
يصدق و يتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا واياكم والكذب فان الكذب يهدى الى
الفجور, وان الفجور يهدى الى النار, وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب
عند الله كذابا.
Dari ibn Mas’ud ra, ia berkata : Bersabda rasulullah saw; Wajib
bagi memegang teguh perkataan benar, karena perkataan benar membawa kebaikan,
dan kebaikan itu mengajak ke Sorga. Seseorang yang senantiasa berkata benar,
sehingga dituliskan disisi Allah sebagai orang yang berbuat benar (jujur). Dan
jauhilah berkata dusta, karena kata dusta itu membawa kejahatan, dan
sessungguhnya kejahatan itu mengajak ke neraka. Seorang pria yang senantiasa
berkata dusta, maka dituliskan disisi Allah sebagai pendusta besar.[12]
Berlaku jujur dengan perkataan dan perbuatan, mengandung makna,
berkata harus sesuai dengan yang sesungguhnya, dan sebaliknya jangan berkata
yang tidak sesuai dengan yang sesungguhnya. Dan perkatan itu disesuaikan dengan
tingkah laku perbuatan, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat at-Taubah ayat
119.
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَكُونُواْ
مَعَ ٱلصَّـٰدِقِينَ (١١٩)
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
Sikap jujur, merupakan salah satu fadhilah yang menentukan status
dan kemajuan perseorangan dan msyarakat. Menegakkan prinsip kejujuran adalah
salah satu sendi kemaslahatan dalam hubungan antara manusia dengan manusia dan
antara satu golongan dengan golongan yang lain.[13]
Dampak dari sifat jujur adalah menimbulkan rasa berani, karena
tidak ada orang yang merasa tertipu dengan sifat yang diberikan kepada orang
lain dan bahkan orang merasa senang dan percaya terhadap pribadi orang yang
jujur. Pepatah ada mengatakan “berani karena benar, takut karena salah”.
Sifat Jujur tidak dapat dimiliki dan dilaksanakan dengan baik dan
sempurna oleh orang yang tidak kukuh imannya. Orang beriman dan takwa, karena
dorongan iman dan taqwanya itu merasa diri wajib selalu berbuat dan bersikap
benar serta jujur. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat az-Zumar ayat 33.
وَٱلَّذِى جَآءَ بِٱلصِّدۡقِ وَصَدَّقَ بِهِۦۤۙ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ
ٱلۡمُتَّقُونَ (٣٣)
“dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya,
mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”
Hadis rasul mengatakan :
رحم الله امراء اصلح من لسانه و اقصر من عنانه والزم طريق الحق مقوله
ولم يعود الخطل مفصله.(رواه ابن عدي)
“Mudah-mudahan Allah akan merahmati orang-orang yang memperbaiki
lidahnya, memendekkan tali kekangnya, melazimi perkataan-perkataannya dijalan
kebenaran dan tidak membiasakan anggota-anggotanya berbuat tidak benar”.
(riwayat Ibn ‘Adi)”[14]
2.
Lawan
Sifat Jujur
Lawan dari jujur adalah pembohong (kazzib), yaitu orang yang
berbicara tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya apa yang ada dihatinya.[15] Dia
mengatakan A, tetapi di hatinya sesungguhnya B. Sifat bohong membawa bencana
bagi pribadi dan masyarakat.
Dalam islam dijelaskan tanda-tanda pembohong yaitu : Hadis Nabi
mengatakan :
حديث ابى هريرة عن النبى صلى الله غليه وسلم قال: اية المنافق ثلاث:
اذا حدث كذب, واذا وعد اخلف, واذا ؤتمن خان.
“Abu Hurairah r.a, berkata : Nabi saw bersabda : Tanda seorang
munafiq itu tiga : Jika berkata-kata berdusta. Jika berjanji menyalahi janji.
Dan jika diamanati berkhianat.”[16]
Dari Hadis di atas menunjukkan ada tiga tanda orang munafiq,
apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji dia ingkar dan apabila diberi
amanah dia khianat. Dari ketiga hal tersebut semuanya memerlukan kejujuran,
dalam artian, apabila berkata: harus dikatakan yang sejujurnya, apa yang kita
lihat dan rasa, harus dikatakan dengan yang terlihat dan yang dirasakan
tersebut tanpa menguranginya sedikitpun. Kemudian apabila berjanji, harus
melaksanakan apa yang telah dijanjikan, tanpa mengingkarinya sedikitpun.
Kemudian apabila diserahi amanah, harus jujur melaksanakan amanah itu, dengan
melaksanakan sepenuhnya.
Ketiga hal tersebut apabila terlaksana maka terhindarlah dari
sebutan orang munafiq dan sebaliknya melaksanakan sifat jujur, akan dicatat
disisi Allah sebagai seorang yang jujur, dan apabila berbuat bohong maka
dicatat disisi Allah sebagai seorang pembohong.
Hadist rasul mengatakan:
داع ما يريبك الى مالا يريبك.
“Tinggalkanlah yang engkau ragukan kepada apa yang tidak engkau
ragukan. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada ketenangan dan dusta itu
menimbulkan keragu-raguan.”[17]
Dalam masyarakat yang sudah merajalela dusta dan kecurangan maka
akibatnya akan kacau dan kalut. Kecurangan dalam administrasi umpamanya hanya
akan mempercepat kehancuran masyarakat itu sendiri. Satu-satunya jalan untuk
mencegahnya, ialah dengan mengembalikan keadaan itu kepada prinsip-prinsip
kebenaran. Dalam bidang ekonomi umpamanya, sukatan dan timbangan dikurangi.
Manipulasi dalam jual beli dan lain-lain, menjadi sumber dan terbukanya
pintu-pintu korupsi, semuanya itu menimbulkan bencana dan kerusakan.
Orang yang melakukan perbuatan dusta adalah orang yang lemah
imannya, karena orang tidak berimanlah orang yang tidak dapat melaksanakan
perbuatan jujur. Jika ada iman di dalam hati, maka selalu terasa akan diawasi
oleh Allah SWT dimanapun ia berada dan apapun yang diperbuatnya. Oleh karena
apabila ia hendak melakukan perbuatan dusta maka ia merasa dilihat oleh Allah.
Hal ini dijelaskan Allah dalam surat an-Nahl ayat 105.
إِنَّمَا يَفۡتَرِى ٱلۡكَذِبَ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِـَٔايَـٰتِ
ٱللَّهِۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡڪَـٰذِبُونَ (١٠٥)
"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah
orang-orang pendusta.”
Hadis Nabi mengatakan :
قيل للنبى صلى الله عليه وسلم. ايكون المؤمن جبانا؟ قال: نعم, قيل:
افيكون بخيلا؟ قال: نعم, قيل: افيكون كذابا؟ قال: لا. “Ditanya
kepada Nabi saw. Adakah seorang mukmin itu penakut?. Nabi menjawab: ya. Adakah
seorang mukmin itu kikir?. Nabi menjawab: Ya. Apakah seorang mukmin itu
pendusta. Jawab Nabi ; Tidak”. [18]
Dalam Al-quran dijelaskan Allah bahwa sekeji-keji dusta adalah
dusta kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai dalam surat az-Zumar ayat 60.
وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ تَرَى ٱلَّذِينَ كَذَبُواْ عَلَى ٱللَّهِ
وُجُوهُهُم مُّسۡوَدَّةٌۚ أَلَيۡسَ فِى جَهَنَّمَ مَثۡوً۬ى لِّلۡمُتَكَبِّرِينَ (٦٠)
“Dan
pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat Dusta terhadap
Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat
bagi orang-orang yang menyombongkan diri?.”
Orang yang meninggalkan kebenaran, mempergunakan dusta untuk
memperoleh suatu manfaat atau menolak suatu melarat, atau untuk melepaskan
maksud hati terhadap musuh, adalah orang berjiwa rendah, walaupun ia dalam
kedudukan tinggi-mulia. Segala hasil yang diperoleh dengan dusta, tidak ada
sedikitpun
3.
Berbohong
yang Dimaafkan
Ada hadis Nabi yang menjelaskan tentang kebolehan berbohong
sebagaimana sabdanya:
حديث ام كلثوم بنت عقبة, انها سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول
ليس الكذاب الذى يصلح بين الناس. فيمنى خيرا, او يقول خيرا.
“Ummi Kalsum binti Uqbah telah mendengar rasulullah saw bersabda:
Bukan pendusta seorang yang mendamaikan (memperbaiki) sengketa sesama orang,
lalu berkata baik atau mengusahakan kebaikan.”[19]
Dari Hadis ini, dapat dipahami boleh berdusta dengan tujuan untuk
mendamaikan orang yang bersengketa, ataupun dengan tujuan-tujuan kebaikan.
Bukan tujuan-tujuan muslihat yang jelek.
يُثَبِّتُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱلۡقَوۡلِ ٱلثَّابِتِ فِى
ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِى ٱلۡأَخِرَةِۖ وَيُضِلُّ ٱللَّهُ ٱلظَّـٰلِمِينَۚ
وَيَفۡعَلُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ (٢٧)
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan
yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan
orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.”
Jika prinsip kejujuran telah membudaya, maka akan tegaklah suatu
masyarakat yang harmonis, aman dan sentosa seperti halnya pribadi mukmin yang
hatinya selalu merasa aman dan damai karena berkata dan bertingkah laku yang
benar. Seperti Firman Allah menjelaskan dalam surat Ibrahim ayat 27 diatas.
PENUTUP
A. Kesimpulan
A.
Terdapat
beberapa faktor dalam tingkah laku manusia menurut Al Qur’an diantaranya
adalah:
1.
Faktor
Pembawaan
Yang dimaksud
dengan faktor pembawaan di sini adalah suatu keadaan pada diri manusia dan
telah ada sejak lahir tanpa adanya unsur ataupun pengaruh dari manapun termasuk
dari orang tuanya sendiri. Atau dengan kata lain, suatu keadaan yang dibawa
langsung berkat karunia Allah SWT.
2. Faktor
Keturunan.
Faktor
keturunan adalah sesuatu keadaan yang ada pada diri manusia sebagai akibat
keterpengaruhan yang diperoleh dari orang tuanya atau orang-orang yang secara
genetik ada hubungan darah dengannya.
3. Faktor Pendidikan
Mengenai pentingnya faktor pendidikan, kisah Nabi Musa patut dikaji
secara cermat. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga Fir’aun yang lalim, tetapi
istri Fir’aun, ia justru sebagai penentang Fir’aun pelindung keimanan dan bakat
yang ada pada Nabi Musa. Bagaimana kedudukan ibu jika jasanya dianalogikan
dengan pendidikan. Di sinilah arti penting beberapa usaha, mulai dari do’a
sejak mengandung dan begitu anak dilahirkan. Semua menunjuk pentingnya
perhatian kita kepada penyelamatan, pemeliharaan dan upaya pengembangan fitrah
manusia.
4. Faktor Kemauan (Iradah)
Faktor intern sangatlah penting hubungannya dengan daya pembentukan
kepribadian menyesuaikan dengan pola-pola kepribadian menurut al-Qur’an. Faktor
itu meliputi fungsi jiwa rohani seperti akal, nafsu, roh, kalbu, dan menurut
Nabi SAW. yang terpenting di antara unsur-unsur itu ialah kalbu atau hati, yang
di dalamnya terdapat hasrat atau iradah.
B.
Tingkah laku
manusia dalam sunnah terbagi ke dalam beberapa sifat, diantaranya:
1.
Sifat
Jujur
Jujur
dalam Bahasa Arab berarti benar (siddiq). Benar disini yaitu benar dalam
berkata dan benar dalam perbuatan.
2.
Lawan
Sifat Jujur
Lawan
dari jujur adalah pembohong (kazzib), yaitu orang yang berbicara tidak sesuai
dengan apa yang sesungguhnya apa yang ada dihatinya. Dia mengatakan A, tetapi
di hatinya sesungguhnya B. Sifat bohong membawa bencana bagi pribadi dan
masyarakat.
3.
Berbohong
yang Dimaafkan
Ada
hadis Nabi yang menjelaskan tentang kebolehan berbohong sebagaimana sabdanya:
حديث ام كلثوم
بنت عقبة, انها سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ليس الكذاب الذى يصلح بين
الناس. فيمنى خيرا, او يقول خيرا.
“Ummi Kalsum binti Uqbah telah mendengar rasulullah saw bersabda:
Bukan pendusta seorang yang mendamaikan (memperbaiki) sengketa sesama orang,
lalu berkata baik atau mengusahakan kebaikan.”
Dari Hadis ini, dapat dipahami boleh berdusta dengan tujuan untuk
mendamaikan orang yang bersengketa, ataupun dengan tujuan-tujuan kebaikan.
Bukan tujuan-tujuan muslihat yang jelek.
DAFTAR
PUSTAKA
Abi ‘Isa
Muhammad ibn ‘Isa ibn aurah, Sunan at-Tirmizi, Juz V, (Mesir :
Syarikah Maktabah wa Matba’ah
Mujtafa al-Babi al-Halabi, 1968)
Ali Abdul Adhim
dalam Ahmas, 1989
Dawam Raharja, dalam
Ulum al-Qur’an Jurnal Islam dan Kebudayaan, Bagian Ensiklopedi al-Qur’an :
Fitrah (Jakarta : Aksara Buana, 1992)
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : 1989), 250.
Hamzah Ya’cub, Etika
Islam, (Bandung : Diponegoro, 1983)
Imaduddin Ibn
Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adim, Jilid I (Beirut : Dar al-Fikr,
1970
Muhammad
Fu`ad ‘Abdul Baqi. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Quran al-Karim,
(Indonesia: Maktabah Dahlani, T.th) juz. I
T.M. Hasbi
as-Siddiqy, Al-Islam I, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1998)
Witheringthon,
dalam MZ.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintazng,
1976)
[3]. Dawam Raharja, dalam Ulum al-Qur’an [Jurnal Islam dan Kebudayaan,
Bagian Ensiklopedi al-Qur’an : Fitrah] (Jakarta : Aksara Buana, 1992), 41
[4]. Imaduddin Ibn
Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adim, Jilid I (Beirut : Dar al-Fikr, 1970),
358.
[6]. Dawam
Raharjo, 43.
[7]. Witheringthon,
dalam MZ.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintazng, 1976),
125.
[10]. Ibid., 128.
[11]. Hamzah
Ya’cub, Etika Islam, (Bandung : Diponegoro, 1983), hlm.102
[12]. Ibn hajar
al-‘Asqalani, Op.cit, hlm.776
[13]. Hamzah
Ya’cub, Op.cit, hlm.102
[14]. T.M. Hasbi
as-Siddiqy, Al-Islam I, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1998), hlm.670
[15]. Ibid, hlm.669
[16]. Muhammad Fu`ad
‘Abdul Baqi. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Quran al-Karim,
(Indonesia: Maktabah Dahlani, T.th) juz. I, hlm. 12
[17]. Abi
‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn aurah, Sunan at-Tirmizi, Juz V, (Mesir :
Syarikah Maktabah wa Matba’ah Mujtafa al-Babi al-Halabi, 1968), hlm 613
[18]. Hasby
as-Siddiqy, Op.cit, hlm.671
[19]. Muhammad Fu’ad
Abd al-Baqi, Op.cit, Juz II, hlm.198 Menurut Hasby as-siddiqy, Hadis-Hadis
dan cerita-cerita yang mengandung pengertian, bahwa Nabi-Nabi pernah juga
berdusta adalah palsu, semuanya tertolak, karena bohong. Jika Nabi berdusta,
maka hal itu terang-terangan berlawanan dengan penetapan Al-quran dan akal
sejahtera. Tetapi lebih lanjut ia mengatakan dalam keadaan tertentu dan untuk
maksud baik, diperbolehkan dalam bentuk sindiran. Hasby as-Siddiqy, Ibid,
hlm 670 dan 673
No comments:
Post a Comment