Friday, January 29, 2016

ISLAM DI KOTA YATSRIB DAN SISTEM EKONOMI DI MASA RASULULLAH SAW

ISLAM DI KOTA YATSRIB DAN SISTEM EKONOMI DI MASA RASULULLAH SAW
A.    LATAR BELAKANG
Sebelum Islam datang, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat senantisa hidup dalam ketidakpastian. Oleh karena itu, beberapa kelompok penduduk kota Yatsrib berinisiatif menemui nabi Muhammad Saw yang terkenal dengan sifat al-amin (terpercaya) untuk memintanya agar menjadi pemimpin mereka. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam. Atas dasar pertemuan dan setelah mendapat perintah Allah Swt, Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Makkah ke Kota Yatsrib. Sesuai perjanjian, di kota yang subur ini Rasulullah Saw disambut dengan hangat serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib. Sejak saat itu Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah.
Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat (mu’amalah) banyak turun di kota ini. Setelah diangkat sebagai kepala negara, Rasulullah Saw segera melakukan perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan Rasulullah Saw adalah membangun sebuah kehidupan sosial baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan yang bersih dari berbagai tradisi, ritual, dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai qurani, seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.
Beberapa kegiatan  yang dilakukan Rasulullah setibanya di Madinah yaitu :
1.      Membangun Masjid
Setibanya di kota madinah, tugas pertama yang di lakukan oleh Rasulullah SAW adalah mendirkan masjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasullullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem, akidah dan tatanan Islam baru tumbuh dn berkembang dari kehidupn sosial yang di jiwai oleh semangat yang lahir dari aktivitas mesjid. Di tempat ini, kaum Muslimin akan sering bertemu dan saling berkomunikasi, sehingga dapat menambah tali ukhwah dan mahabbah dengan sesama Muslimin.
Tanah pembangunan mesjid pertama ketika masa Rasulullah di peroleh dari sumbangan Abu Bakar r.a. yang membeli tanah milik dua anak yatim seharga sepuluh dinar. Pembangunan di lakukun dengan struktur yang sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan bebatuan dan batu bata sebagai dindingnya, daun-daun palem sebagai atapnya serta batang-batang pohon kurma sebagai tiangnya.[1] Rasulullah bersama pengikutnya bergotong royong menyelesaikan pembangunan mesjid ini secara suka rela.
Selain menjadi tempat ibadah, mesjid yang di kemudian hari di kenal sebagai mesjid nabawi yang berfungsi sebagai Islamic Centre. Seluruh aktifitas kaum Muslimin di pusatkan di tempat ini, mulai dari tempat pertemuan para anggota perlemen, secretariat negara, mahkamah agung, markas besar tentara, pusat pendidikan dan pelatihan para juru dakwah, hingga baitul mal. Dengan adanya fungsi tersebut, Rasulullah Saw dapat menghemat/ menghindar dari pengeluaran untuk pembangunan infrastuktur bagi negara madinah yang baru terbentuk.
2.      Merehabilitasi Kaum Muslim
Kaum Muslim saat itu di madinah sekitar 150 keluarga, baik yang sudah tiba di madinah maupun yang masih dalam perjalanan, dan berada dalam kondisi yang memprihatikan karena hanya membawa sedikit pembekalan. Tugas Rasulullah Saw yang di lakukan berikutnya adalah memperbaiki tingkat kehidupan sosial dan ekonomi kaum yang baru sampai ke madinah, karena di madinah mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian dan pemerintahan belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka. Untuk memperbaiki keadaan ini serta menghindari kemungkinan munculnya dampak negatif di kemudian hari, Rasulullah Saw menerapkan kebijakan yang sangat arif dan bijaksana, yaitu dengan cara menanamkan tali persaudaraan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar (penduduk Muslim madinah).dalam hal ini Rasulullah membentuk persaudaraan yang baru, yakni persaudaraan seagama bukan lagi sedarah.
Persaudaraan yang di bentuk Rasulullah di antara sahabatnya bukan sekedar syiar yang di ucapkan, akan tetapi merupakan kenyataan yang sangat realitas dalam kehidupan dan menyangkut segala bentuk hubungan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar. Dengan demikian konsekuensi ukhwah ini di dasarkan pada prinsip-prinsip material. Rasulullah Saw memerintahkan agar setiap individu atau keluarga dari kaum anshar memberikan sebagian hartanya kepada kaum muhajirin guna untuk di jadikan pegangan dalam melangsungkan hidupnya sampai mereka memperoleh mata pencaharian baru.
3.      Membuat Konstitusi Negara
Setelah kaum muhajirin dan kaum anshar menjadi ukhwah, Tugas berikutnya yang di lakukan Rasulullah adalah menyusun Konstitusi Negara yang menyatakan tentang kedaulatan madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara, baik Muslim maupun non- Muslim, serta sistem pertahanan dan keamanan negara. Sesuai dengan prinsip Islam, setiap orang dilarang melakukan berbagai aktifitas yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan manusia dan alam. Dalam hal ini, Rasulullah Saw melarang setiap individu untuk memotong rumput, menebang pohon atau membawa masuk senjata untuk tujuan kekerasan atau pun peperangan di sekitar kota madinah.[2]
4.      Meletakkan Dasar-Dasar Sistem Keuangan Negara
Setelah melakukan kostitusi negara, Rasulullah meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dengan ketentuan Al Qur’an. Seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di hapus dan di gantikan dengan pradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.


B.     SISTEM EKONOMI
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar Sistem Keuangan Negara serta strategi ekonomi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW meru­pakan langkah yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakulerpada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama dan negara dapat berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Tujuan dan pencanangan strategis dalam bidang ekonomi adalah untuk memungkinkan setiap pribadi Muslim memenuhi kebutuhan hidup mereka serta bisa merasakan ksejahteraan (welfare) dalam kehidupan mereka. Perhatian Islam terhadap permasalahan ekonomi atau penanggulangan masalah kemiskinan tidak bisa diperbandingkan dengan ajaran agama samawi lain atau aturan manapun. Di dalam al-qur'an banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang menganjurkan memberi makan fakir miskin (mencukupi kebutuhan mereka, baik pangan, papan maupun sandang), menyatakan bahwa dalam harta si kaya terdapat hak si miskin dan lain sebagainya. Untuk itu, praktek ekonomi atau muamalah yang tidak sesuai dengan prinsip tersebut dieliminasi oleh Islam, seperti mengeliminasi praktek riba yang sudah sangat mengakar dalam kehidupan masyarakat jahiliyah,[3]  mengakui dan menganjurkan praktek kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak, seperti syirkah, mudharabah dan lain sebagainya serta mewajibkan zakat untuk menutup jurang yang menganga antara si kaya dan si miskin.[4]
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW berakar dari prinsip-prinsip Qur'ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allahsemata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dengan demikian, dalam kegiatan ekonomipun manusia harus tetap memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan Allah, seperti tidak mempergunakan sumder daya ekonomi untuk hal yang dilarang dan mempunyai perhitungan yang matang dalam mengeksploitasi alam.
Dalam rangka mengemban amanah sebagai Khalifah-Nya, ma­nusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan ataupun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral.
Allah Swt. telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur'ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Olehkarena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga, dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
Berdasarkan pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan tegas dan keras melarang segala bentuk praktik ribawi atau bunga uang. Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan cara-cara ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan menyesatkan karena praktek-praktek ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, oleh penjual terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan terhadap bawahannya.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam yang dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
1.      Kekuasaan tertinggi adalah milik Allah SWT dan Allah SWT adalah pemilik yang absolut atas semua yang ada.
2.      Manusia merupakan pemimpin Allah di bumi, tetapi bukan pemilik yang sebenarnya.
3.      Semua yang dimiliki oleh manusia karena atas seizin Allah SWT, oleh karena itu saudara-saudaranya yang kurang beruntung memliki hak atas sebagian kekayaan saudara-saudaranya yang lebih beruntung.
4.      Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus dan ditimbun.
5.      Kekayaan harus diputar
6.      Eksploitasi dalam ekonomi segala bentuknya harus dihilangkan.
7.      Menghilangkan jurang perbedaan antar individu dalam perekonomian dapat menghapuskan konflik antar golongan dengan cara membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya kepada para ahli warisnya.
8.      Menetapkan kewajiban yang sifatnya wajib dan sukarela bagi semua individu termasuk bagi anggota masyarakat yang miskin.[5]
Ada beberapa sistem ekonomi pada masa Rasulullah Saw, yaitu:
1.      Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah Saw berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya berorientasi pada akhirat tanpa memikirkan kehidupan duniawi ataupun sebliknya hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.

2.      Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Dengan demikian, pada dasarnya Islam mengakui kepemilikan pribadi. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan ataupun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral. Islam sangat menentang setiap aktivitas ekonomi yang bertujuan melakukan penimbunan kekayaan atau pengambilan keuntungan yang tidak layak dari kesulitan orang lain atau penyalahgunaannya.

3.      Allah Swt telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apapun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Kesuksesan seseorang dalam berusaha akan terwujud jika dilalui dengan kerja keras, ketekunan, dan kesabaran disertai dengan doa yang tidak pernah putus.

4.      Oleh karena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga, dan riba bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tetapi juga para pelakunya layak dihukum.

5.      Dengan demikian, menumpuk harta serta tidak menggunakannya untuk berbagai tujuan yang bermanfaat bagi umat manusia merupakan perbuatan yang tidak diperkenankan dalam Islam, karena menjadikan seseorang kaya raya sementara kepentingan dan kesejahteraan orang lain dan masyarakat terampas.

6.      Islam memandang bahwa setiap orang mempunyai hak penuh untuk dapat memiiki penghasilan atau memperoleh harta kekayaan secara legal sehingga dapat menunaikan kewajiban agamanya dengan baik. Oleh karena itu pula, setelah ia meninggal dunia, semua harta miliknya yang telah dibersihkan dari seluruh kewajiban dan utang harus dibagikan kepada ahli warisnya.

7.      Ide yang mendasari keseluruhan sistem warisan ini adalah untuk pendistribusian kepemilikan atau kekayaan seseorang kepada orang lainnya, semakin banyak orang yang menerimanya akan semakin baik pula implikasinya bagi kehidupan manusia secara keseluruhan.

8.      Menurut para mufassir dan sejarawan, perintah terakhir tentang pelarangan riba datang pada tahun 9 H dan diumumkan oleh Rasulullah pada saat menyampaikan khutbah Haji Wada’ pada tahun 10 H.

9.      Ketika melarang segala bentuk praktik ribawi, di sisi lain, Islam memperkenalkan sebuah konsep baru yang telah dapat mengubah seluruh cara pandang kaum Muslimin. Konsep tersebut berupa perintah mengeluarkan sedekah, baik yang bersifat wajib ataupun sunnah. Sedekah atau membelanjakan harta hanya untuk mengharap keridhaan Allah semata antara lain : tolong menolong, pemberian makanan dan pinjaman kepada sanak saudara yang miskin, anak-anak yatim, para janda, orang-orang miskin, tawanan, musafir, pengutang, para tetangga bahkan lembaga.

10.  Dalam Al-Quran, pinjaman yang demikian disebut Allah sebagai pinjaman yang ditujukan kepada Allah dan niscaya Allah akan melipatgandakannya dalam jumlah yang sangat besar jika dikeluarkan dengan niat karena Allah semata.
           
                                

[1] . Al- Baladzuri, Kitab Futuh al-Buldan, terjemahan Philip K. Hitti, Beirut, 1966, Hal. 20 dan Syibli Nu’man, seerat an Nabi (Karachi: Matbee Ma’arif Azamgarh,1973), Vol. 1, Hal. 281.
[2] Al- Baladzuri, ibid., hal. 21-22
[3]. Pengharaman riba dilakukan dalam empat tahap, hal ini dikarenakan praktek riba sudah sangat mengakar kuat dalam masyarakat jahiliyah sehingga akan menimbulkan resistensi yang kuat dari berbagai pihak kalau diharamkan dalam satu tahap saja. Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa'i` al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta : Dinamika Berkah Utama, th), h. 391.
[4] Ahmad Ibrahim Abu Abu Sinn, Manajemen syariah, terj. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006). h. 88.

[5].  Adiwaman Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer , Jakarta: Gema insani press, 2003,. Hal, 36

HAJI DAN UMRAH




A.  PENGERTIAN HAJI DAN UMRAH 
Asal mula arti haji menurut lughah atau arti bahasa (etimologi) adalah “al-qashdu” atau “menyengaja”. Sedangkan arti haji dilihat dari segi istilah (terminology) berarti bersengaja mendatangi Baitullah (ka’bah) untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada waktu tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’, semata-mata mencari ridho Allah.
Adapun umrah menurut bahasa bermakna ‘ziarah’. Sedangkan menurut syara’ umrah ialah menziarahi ka’bah, melakukan tawaf di sekelilingnya, bersa’i antara Shafa dan Marwah dan mencukur atau menggunting rambut dengan cara tertentu dan dapat dilaksanakan setiap waktu.
Allah SWT telah menjadikan baitullah suatu tempat yang dituju manusia pada setiap tahun.
Allah SWT berfirman :
"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i´tikaf, yang ruku´ dan yang sujud". (Al-baqarah :125)

Baitullah adalah suatu tempat yang didatangi manusia pada setiap tahun. Lazimnya mereka yang sudah pernah mengunjungi Baitullah, timbul keinginannya untuk kembali lagi yang kedua kalinya.
Maka makna Hajjul baiti menurut syara’ ialah : mengunjungi baitullah dengan sifat yang tertentu, di waktu yang tertentu, disertai dengan perbuatan-perbuatan yang tertentu pula.
Para ulama telah mengkhususkan kalimat haji untuk mengunjungi ka’bah, untuk menyelesaikan manasik haji.

B.     TUJUAN HAJI DAN UMRAH
Al-baqarah 189
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُواالْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَلَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
″Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung″. 
(Al-baqarah : 189)

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِاسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". (Al-imran : 97)

C.    DASAR HUKUM PERINTAH HAJI DAN UMRAH
Seperti di ketahui, dalam setiap aktivitas ibadah, ada hal-hal yang bersifat fardhu, wajib, sunnah, dan makruh, di samping ada juga mubah (boleh-boleh saja di kerjakan) dan haram.
Dalam ibadah haji, fardhu adalah sesuatu yang apabila tidak dikerjakan sesuai ketentuannya, maka ibadah haji tidak sah, seperti tidak melakukan wukuf di ‘Arafah.
Wajib dalam ibadah haji atau umrah adalah sesuatu yang jika diabaikan secara keseluruhan, atau tidak memenuhi syaratnya maka haji atau umrah tetap sah, tetapi orang yang bersangkutan harus melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan. Misalnya, kewajiban melempar jumroh, bila ia diabaikan, maka ia harus diganti dengan membayar dam (denda).
Sesuatu yang sunnah bila dilakukan, atau sesuatu yang makruh, jika ditinggalkan dapat mendukung kesempurnaan ibadah haji dan umrah. Sedang sesuatu yang mubah, tidak berdampak apa pun terhadap ibadah.

D.    SYARAT, RUKUN DAN WAJIB HAJI DAN UMRAH
1. Syarat-Syarat Melakukan Haji
Adapun syarat-syarat wajib melakukan ibadah haji dan umrah adalah :
a)      Islam
b)      Baligh (dewasa)
c)      Aqil (berakal sehat
d)     Merdeka
e)      Mampu (Istitha’ah)

a) Islam
Beragama Islam merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan melaksanakan ibadah haji dan umrah. Karena itu orang-orang kafir tidak mempunyai kewajiban haji dan umrah. Demikian pula orang yang murtad.
b) Baligh
Anak kecil tidak wajib haji dan umrah. Sebagaimana dikatakan oleh nabi Muhammad SAW “Kalam dibebaskan dari mencatat atas anak kecil sampai ia menjadi baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang yang gila sampai ia sembuh”.
c) Berakal
Orang yang tidak berakal, seperti orang gila, orang tolol juga tidak wajib haji.
d) Merdeka
 Budak tidak wajib melakukan ibadah haji karena ia bertugas melakukan kewajiban yang dibebankan oleh tuannya. Padahal menunaikan ibadah haji memerlukan waktu. Disamping itu budak itu termasuk orang yang tidak mampu dari segi biaya, waktu dan lain-lain.
e) Mampu (Istitha’ah) : 
Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan dalam hal kendaraan, bekal, pengongkosan, dan keamanan di dalam perjalanan.
Pengertiana mampu itu ada 2 macam :
1) Mampu mengerjakan haji dengan sendirinya, dengan beberapa syarat sebagai berikut :
a) Mempunyai bekal yang cukup untuk pergi ke mekah dan kembalinya.
b) Ada kendaraan yang pantas dengan keadaannya, baik kepunyaan sendiri ataupun dengan jalan menyewa.
c) Aman perjalanannya. Artinya dimasa itu biasanya orang-orang yang melalui jalan itu selamat sentosa.
d) Syarat wajib haji bagi perempuan, hendaklah ia berjalan bersama-sama dengan mahramnya, bersama-sama dengan suaminya, atau bersama-sama dengan perempuan yang dipercayai.

Demikian pula kesehatan badan tentu saja bagi mereka yang dekat dengan makkah dan tempat-tempat sekitarnya yang bersangkut paut dengan ibadah haji dan umrah, masalah kendaraan tidak menjadi soal. Dengan berjalan kaki pun bisa dilakukan. Pengertian mampu, istitha’ah atau juga as-sabil (jalan, perjalanan), luas sekali, mencakup juga kemampuan untuk duduk di atas kendaraan, adanya minyak atau bahan bakar untuk kendaraan.
Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ad-Daru Quthni Anar ra. Terdapat percakapan sebagai berikut: yang artinya Rasulullah SAW ditanya: Apa yang dimaksud jalan (as-sabil, mampu melakukan perjalanan) itu ya Rasulullah? Beliau menjawab : Yaitu bekal dan kendaraan.
Sedangkan yang dimaksud bekal dalam Fat-Hul Qorib disebutkan : Dan diisyaratkan tentang bekal untuk pergi haji (sarana dan prasarananya) hal mana telah tersebut di atas tadi, hendaklah sudah (cukup) melebihi dari (untuk membayar) hutangnya, dan dari (anggaran) pembiayaan orang-orang, dimana biaya hidupnya menjadi tanggung jawab orang yang hendak pergi haji tersebut. Selama masa keberangkatannya dan (hingga sampai) sekembalinya (di tanah airnya). Dan juga diisyaratkan harus melebihi dari (biaya pengadaan) rumah tempat tinggalnya yang layak buat dirinya, dan (juga) melebihi dari (biaya pengadaan) seorang budak yang layak buat dirinya (baik rumah, dan budak disini, apabila benar-benar dibuktikan oleh orang tersebut).

 2. Rukun-rukun Ibadah Haji 
Rukun haji dan umrah merupakan ketentuan-ketentuan/perbuatan-perbuatan yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji apabila ditinggalkan, meskipun hanya salah satunya, ibadah haji atau umrahnya itu tidak sah. Adapun rukun-rukun haji dan umrah itu adalah sebagai berikut :
a)      Ihram
b)      Wukuf di arafah
c)      Thawaf
d)     Sa’i
e)      Bercukur
f)       Tertib

1) Ihram
Melaksanakan ihram disertai dengan niat ibadah haji dengan memakai pakaian ihram.Pakaian ihram untuk pria terdiri dari dua helai kain putih yang tak terjahit dan tidak bersambung semacam sarung. Dipakai satu helai untuk selendang panjang serta satu helai lainnya untuk kain panjang yang dililitkan sebagai penutup aurat. Sedangkan pakaian ihram untuk kaum wanita adalah berpakaian yang menutup aurat seperti halnya pakaian biasa (pakaian berjahit) dengan muka dan telapak tangan tetap terbuka.
2) Wukuf di Padang Arafah
Yakni menetap di Arafah, setelah condongnya matahari (ke arah Barat) jatuh pada hari ke-9 bulan dzulhijjah sampai terbit fajar pada hari penyembelihan kurban yakni tanggal 10 dzulhijjah.

3) Thawaf
Yang dimaksud dengan Thawaf adalah mengelilingi ka’bah sebayak tujuh kali, dimulai dari tempat hajar aswad (batu hitam) tepat pada garis lantai yang berwarna coklat, dengan posisi ka’bah berada di sebelah kiri dirinya (kebalikan arah jarum jam). (kumpulanmakalahpai haji)

Macam-macam Thawaf
a) Thawaf Qudum : yakni thawaf yang dilaksanakan saat baru tiba di Masjidil Haram dari negerinya.
b) Thawaf Tamattu’ : yakni thawaf yang dikerjakan untuk mencari keutamaan (thawaf sunnah)
c) Thawaf Wada’ : yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan meninggalkan Makkah menuju tempat tinggalnya.
d) Thawaf Ifadhah (thawaf rukun) : yakni thawaf yang dikerjakan setelah kembali dari wukuf di Arafah. Thawaf Ifadhah merupakan salah satu rukun dalam ibadah haji.
e) Thawaf nazar.
f) Thawaf sunnat. 

4) Sa’i antara Shafa dan Marwah
Sai adalah lari-lari kecil sebayak tujuh kali dimulai dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah yang jaraknya sekitar 400 meter.Sai dilakukan untuk melestarikan pengalaman Hajar, ibunda nabi Ismail yang mondar-mandir saat ia mencari air untuk dirinya dan putranya, karena usaha dan tawakalnya kepada Allah, akhirnya Allah memberinya nikmat berupa mengalirnya mata air zam-zam.
Dalam sa’i harus diperhatikan ketentuan-ketentuan berikut :
a.       Sa’i mesti dilakukan setelah melakukan thawaf, sebagaimnana yang dicontohkan Nabi.
b.      Tartib, dimulai dari shafa. Jabir meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, ‟Kita mulai dari tempat yang Allah memulai dengan-Nya, dan beliau memulai dari shafa hingga selesai dari sa’inya di Marwah.”
c.       Sa’i mesti dilakukan tujuh kali dengan ketentuan bahwa perjalanan dari shafa ke Marwah dihitung satu kali, dan berikutnya dari Marwah ke shafa pun demikian. 

5) Tahallul
Tahallul adalah menghalalkan pada dirinya apa yang sebelumnya diharamkan bagi dirinya karena sedang ihram. Tahallul ditandai dengan memotong rambut kepala beberapa helai atau mencukurnya sampai habis (lebih afdol)
6) Tertib Berurutan
Sedangkan Rukun dalam umrah sama dengan haji yang membedakan adalah dalam umrah tidak terdapat wukuf.

3. Wajib Haji dan Umrah
            Wajib haji dan umrah adalah ketentuan-ketentuan yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji dan umrah tetapi jika tidak dikerjakan haji dan umrah tetap sah namun harus mambayar dam atau denda.
Adapun Wajib-wajib haji adalah
a)    Ihram dari miqat           
            Dalam melaksanakan ihram ada ketentuan kapan pakaian ihram itu dikenakan dan dari tempat manakah ihram itu harus dimulai. Persoalan yang membicarakan tentang kapan dan dimana ihram tersebut dikenakan disebut miqat atau batas yaitu batas-batas peribadatan bagi ibadah haji dan atau umrah.

Macam-macam miqat menurut Fah-hul Qarib

1.      Miqat zamani (batas waktu)
            pada konteks (yang berkaitan) untuk memulai niat ibadah haji,adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah dan 10 malam dari bulan dzilhijjah (hingga sampai malam hari raya qurban). Adapun (miqat zamani) pada konteks untuk niat melaksanakan “Umrah” maka sepanjang tahun itu, waktu untuk melaksanakan ihram umrah.

2.      Miqat makany (batas yang berkaitan dengan tempat)
            untuk dimulainya niat haji bagi hak orang yang bermukim (menetap) di negeri makkah, ialah kota makkah itu sendiri. Baik orang itu penduduk asli makkah, atau orang perantauan. Adapun bagi orang yang tidak menetap di negeri makkah, maka :
a.       Orang yang (datang) dari arah kota Madinah as-syarifah, maka miqatnya ialah berada di (daerah) “Dzul Halifah”.
b.      Orang yang (datang) dari arah negeri Syam (syiria), Mesir dan Maghribi, maka miqatnya ialah di (daerah) “Juhfah”.
c.       Orang yang (datang) dari arah Thihamatil Yaman, maka miqatnya berada di daerah “Yulamlam”.
d.      Orang yang (datang) dari arah daerah dataran tinggi Hijaz dan daerah dataran tinggi Yaman, maka miqatnya ialah berada di bukit “Qaarn”.
e.       Orang yang (datang) dari arah negeri Masyrik, maka miqatnya berada di desa “Dzatu “Irq”.

Ketentuan tempat (tempat makani) :
a.    Makkah, miqat (tempat ihram) orang yang tinggal di makkah, berarti orang yang tinggal di makkah hendaklah ihram dari rumah masing-masing.
b.    Zul-hulaifah, miqat (tempat ihram) yang datang dari pihak madinah dan negeri-negeri sejajar dengan madinah.
c.    Juhfah, miqat (tempat ihram) orang yang datang dari sebelah syam, mesir, dan negeri-negeri yang sejajar dengan negeri-negeri tersebut. Juhfah nama suatu kampung di antara makkah dan madinah, kampung itu sekarang telah rusak (roboh), kampung yang dekat kepadanya ialah : ‟Rabigh”.
d.   Yalamlam (nama suatu bukit dari beberapa bukit tuhamah). Bukit ini, miqat orang yang datang dari sebelah yaman, india, indonesia, dan negeri-negeri yang sejalan dengan negeri-negeri tersebut.
e.    Qarnu (nama sebuah bukit, jauh dari makkah kira-kira 80,640 km). Bukit ini, miqat orang yang datang dari sebelah Najdil-Yaman dan Najdil-hijaz dan orang-orang yang datang dari negeri-negeri yang sejalan dengan itu.
f.     Zatu’irqain (nama kampung yang jauhnya dari makkah kira-kira 80,640 km). Kampung ini, miqat orang yang datang dari iraq dan negeri-negeri yang sejalan dengan itu.
g.    Adapun bagi penduduk negeri-negeri yang diantara makkah dan miqat-miqat tersebut maka mikat mereka negeri masing-masing. 

b.) Melempar Jumrah
            Wajib haji yang ketiga adalah melempar jumrah “Aqabah”, yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah, sesudah bermalam di Mudzalifah. Jumrah sendiri artinya bata kecil atau kerikil, yaitu kerikil yang dipergunakan untuk melempar tugu yang ada di daerah Mina. Tugu yang ada di Mina itu ada tiga buah, yang dikenal dengan nama jamratul’Aqabah, Al-Wustha, dan ash-Shughra (yang kecil). Ketiga tugu ini menandai tepat berdirinya ‘Ifrit (iblis) ketika menggoda nabi Ibrahim sewaktu akan melaksanakan perintah menyembeliih putra tersayangnya Ismail a.s. di jabal-qurban semata-mata karena mentaati perintah Allah SWT.
            Di antara ketiga tugu tersebut maka tugu jumratul ‘Aqabah atau sering juga disebut sebagai jumratul-kubra adalah tugu yang terbesar dan terpenting yang wajib untuk dilempari dengan tujuh buah kerikil pada tanggal 10 Dzulhijjah.
c.) Mabit di Mudzalifah
            Wajib haji yang kedua adalah bermalam (mabit) di mudzalifah pada malam tanggal 10 Dzulhijjah, sesudah menjalankan wuquf di Arafah.
d.) Mabid di Mina
            Wajib haji keempat adalah bermalam (mabid) di mina pada hari Tasyrik, yaitu pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.
e.) Thawaf Wada’
            Thawaf Wada’ yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan meninggalkan Makkah menuju tempat tinggalnya. (Bimbingan Manasik Ziarah dan Perjalanan Haji, 1989 : 44-47)

Sedangkan wajib umrah adalah sebagai berikut:
1.       Ihram dari tempat yang telah ditentukan (miqat makani). Sedang miqat zamaninya tidak ditentukan karena ibadah umrah dapat dikerjakan sepanjang tahun.
2.      umrah atau haji.

E.     HIKMAH IBADAH HAJI DAN UMRAH
Ada beberapa hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan haji dan umrah, baik dari aspek waktu maupun pelaksanaannya. Di antara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1.      Dalam pelaksanaan ihram, manusia dilatih untuk dapat mengendalikan hawa nafsu, khususnya syahwat, perbuatan-perbuatan dosa, dan hal-hal yang menyenangkan dirinya (hedonis).
2.      Dalam pelaksanaan thawaf, ka’bah merupakan simbol monoteisme (tauhid). Melakukan thawaf disekeliling ka’bah merupakan simbol bahwa segala usaha kegiatan hidup manusia didunia ini tidak akan pernah lepas dari pengawasan dan kekuasaan Allah. Dengan dzikir ketika thawaf yang disertai penghayatan yang mendalam, diharapkan akan tertanam dalam jiwa orang yang membacanya kesadaran bahwa manusia itu sangat lemah. Di sini orang akan menganggap bahwa manusia tidak layak berlaku sombong dan angkuh.
3.      Ibadah sa’i antara Shafa dan Marwah mengingatkan sejarah perjuangan Siti Hajar ketika mencari air. Ini mengisyaratkan bahwa orang yang haji diharapkan memiliki etos kerja tinggi, tidak boleh berpangku tangan, mengharap rezeki datang dari langit.
4.      Wukuf diarafah bisa disebut sebagai malam perenungan. Arafah sendiri berarti pengalaman. Maksudnya, orang yang melakukan haji dan umrah diharapkan dapat mengenal jati dirinya, menyadari segala kesalahannya dan bertekad untuk tidak mengulanginya.
5.      Melempar jumrah terkait erat dengan kisah ibrahim ketika melempar setan. Hal ini dimaksudkan agar orang yang melakukan haji dan umrah memiliki tekad dan semangat untuk tidak terbujuk rayuan setan yang merusak dunia ini.
6.      Bermalam di mina dan muzdalifah dan diistilahkan malam istirahat dari rangkaian ibadah haji. Disini orang dapat memulihkan kondisi yang sangat lelah. Ini sebagai isyarat bahwa manusia memerlukan waktu istirahat dalam hidup ; tidak selamanya bekerja  sampai tidak ingat menjaga kondisi badan.
7.      Dalam tahallul terkadang ajaran agar manusia mampu mengendalikan sifat pembawaannya. Tahallul diibaratkan sebagai lampu hijau yang mengisyaratkan kendaraan boleh berjalan kembali setelah untuk sementara diharuskan berhenti.
8.      Khusus untuk ibadah umrah, ibadah ini memberi kesempatan yang sangat leluasa kepada kaum muslimin untuk mengunjungi ka’bah karena waktunya tidak ditentukan.


F. SUNNAH, LARANGAN DAN DAM
Sunnah haji :
a.       Diantara sunnah haji ialah haji ifrad
Haji ifrad artinya : terpisah, yaitu cara melakukan ibadah haji secara terpisah dari ibadah umrah dengan mendahulukan ibadah haji.
b.      Membaca talbiyah dengan suara yang keras bagi laki-laki, sedangkan bagi wanita sekadar dapat didengar sendiri. Sunnah membaca talbiyah selama ihram sampai melempar jumroh aqabah pada hari nahar (hari raya).
Bacaan talbiyah :

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, nikmat dan segenap kekuasaan milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. (HR. Bukhari dan Muslim)

c.       Berdo’a sesudah membaca talbiyah, meminta keridhoan Allah, surga dan meminta perlindungan dari siksa neraka.
d.      Membaca dzikir waktu thawaf.
e.       Shalat dua rakaat setelah mengerjakan thawaf.
f.       Memasuki ka’bah (rumah suci).

Larangan dalam haji
Beberapa larangan dalam haji yaitu :
a.       Bersetubuh, bermesra-mesraan, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam haji.
b.      Dilarang menikah dan menikahkan (menjadi wali).
c.       Dilarang memakai pakaian yang di jahit, harum-haruman (minyak wangi), memakai kain yang di celup, menutup kepala, memakai sepatu yang menutup mata kaki. Adapun kaum wanita, mereka boleh memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali dan kedua telapak tangannya. Yang haram bagi mereka bagi mereka hanya kaos tangan dan pakaina yang telah di celup dengan celupan yang berbau harum.
d.      Perempuan dilarang menutup muka dan kedua telapak tangan.
e.       Dilarang menghilangkan rambut dan bulu badan, memotong kuku selama haji, kecuali sakit tetapi wajib membayar dam.
f.       Dilarang berburu atau membunuh binatang liar yang halal di makan.

Dam
Jenis-jenis Dam yaitu :
a.       Dam (denda) karena memilih tamattu’ atau qiran. Dendanya ialah : menyembelih seekor kambing (qurban), dan bila tidak dapat menyembelih kurban, maka wajib puasa tiga hari pada masa haji dan tujuh hari setelah pulang ke negerinya masing-masing.
b.      Dam (denda) meninggalkan ihram dari miqatnya, tidak melempar jumrah, tidak bermalam di muzdalifah dan mina, meninggalkan tawaf wada’, terlambat wukuf di arafah, dendanya ialah memotong seekor kambing kurban.
c.       Dam (denda) karena bersetubuh sebelum tahallul  pertama, yang membatalkan haji dan umrah. Dendanya menurut sebagian ulama ialah menyembelih seekor unta, kalau tidak sanggup maka seekor sapi, kalau tidak sanggup juga, maka dengan makanan seharga unta yang di sedekahkan kepada fakir miskin di tanah haram, atau puasa sehari untuk tiap-tiap seperempat gantang makanan dari harga unta tersebut.
d.      Dam (denda) karena mengerjakan hal-hal yang di larang selagi ihram, yaitu bercukur, memotong kuku, berminyak, berpakaian yang di jahit, bersetubuh setelah tahallul pertama. Dendanya boleh memilih diantara tiga, yaitu menyembelih seekor kambing, kerbau, puasa tiga hari atau sedekah makanan untuk 6 orang miskin sebanyak 3 sha’ (kurang lenih 9,5 liter).
e.       Orang yang membunuh binatang buruan wajib membayar denda dengan ternak yang sama dengan ternak yang ia bunuh.
f.        Dam sebab terlambat sehingga tidak bisa meneruskan ibadah haji atau umrah, baik terhalang di tanah suci atau tanah halal, maka bayarlah dam (denda) menyembelih seekor kambing dan berniatlah tahallul(menghalalkan yang haram) dan bercukur di tempat terlambat itu.







DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi ,1998. Pedoman Haji, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra
Asy-Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazy, 1991. Fath-Hul Qarib,  Surabaya : Al-Hidayah.
Shihab, M. Quraish, 2000. Haji, Bandung : Mizan.
Abidin, Slamet, 1998. Fiqih Ibadah, Bandung : CV. Pustaka Setia.
SH, Andy lolo Tonang, H. 1989. Bimbingan Manasik Ziarah dan Perjalanan Haji, Departemen Agama.
Rasjid, H. sulaiman, 2001. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.
Rasjid, H. Sulaiman, 1954. Fiqih Islam, , jakarta: Attahiriyah
Karman. H, 2001. Materi Pendidikan Agama Islam, bandung : PT Remaja Rosdakarya



GHARAR ( JUAL BELI )



PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang Masalah
Islam di samping membahas masalah ibadah-ibadah ritual yang bersifat mahdah, Islam juga membahas permasalahan jual beli secara mendetail. Dalam Islam tidak mengenal dikotomi antara aktivitas duniawi dengan ukhrawi. Setiap aktivitas dunia senantiasa berkaitan erat dengan aktivitas akhirat sehingga harus berada dalam bingkai ajaran Islam.
Islam mendorong ummatnya berusaha mencari rezeki supaya kehidupan mereka menjadi baik dan menyenangkan. Allah SWT menjadikan langit, bumi, laut dan apa saja untuk kepentingan dan manfaat manusia.
Dalam beberapa hadist Rasulullah SAW memberikan dorongan kepada ummatnya untuk mencari rezeki dengan berusaha dan berdagang. Rasulullah sendiri adalah contoh seorang pedagang yang sukses.
Sistem Islam melarang setiap aktivitas perekonomian tak terkecuali jual beli (perdagangan) yang mengandung unsur paksaan, mafsadah (lawan dari manfaat), dan gharar (penipuan). Sedangkan, bentuk perdagangan Islam mengijinkan adanya sistem kerja sama (patungan) atau lazim disebut dengan syirkah.
B.     Tujuan Penulisan
Karena islam merupakan agama yang mengatur menyeluruh,sampai kepada yang kecil islam mengatur seluruh kegiatan yang sehingga terhindar dari mudharat. kami berharap dengan adanya makalah ini,kami harap kepada kawan-kawan agar terhindar dari perniagaan atau jual beli yang mengandung gharar karena mudharatnya bisa menghancurkan ukhuwah yang ada di ummat islam ini.
C.    Batasan Masalah
Dalam ruang lingkup permasalahan makalah kami ini,kami membatasi isi makalah ini dalam sebuah ruang lingkup permasalahan jual beli yang mengandung dan segala yang berkaitan tentang ini.  

JUAL BELI
GHARAR(الْغَرَرِ)
Surah al baqarah : 188

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٨)

Artinya: ”Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil dan (jangan pula) membawa (urusan harta) itu kepada hakim (untuk kalian menangkan) dengan (cara) dosa agar kalian dapat memakan sebahagian harta orang lain, padahal kalian mengetahui.”
kata gharar di dalam Al-qur’an diulang sebanyak 13 kali dengan segala derivasinya. Di dalam ayat di atas dijelaskan bahwa apabila melakukan perniagaan kita mestinya harus dilakukan suka sama suka agar tidak ada yang dirugikan. Salah satu perniagaan yang dapat merugikan baik penjual ataupun pembeli adalah dengan jual beli yang mengandung gharar. Kata ”al-gharar“dalam bahasa Arab adalah isim mashdar dari kata (غرر) yang berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (al-khathr) , serta menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan. Di dalam kontrak bisnis berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya,atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.[1]
     Menurut M.Ali Hasan gharar adalah keraguan,tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad yang mengandung unsure penipuan,karena tidak ada kepastian, baik yang mengenai ada atau tidak ada objek akad,besar kecil jumlah maupun menyerahkan objek akad tersebut.[2]
Kembali kepada ayat di atas, dalam kitab asbabun nuzul yang di tulis oleh K.H.Q.SHALEH,H.A.A.DAHLAN,dkk ayat ini turun berkenaan dengan Umru-ul Qais bin ‘abdan bin Asywa’ al-Hadlrami yang bertengkar dalam soal tanah. Umru-ul Qais berusaha mendapatkan tanah itu agar menjadi miliknya dengan sumpah di depan hakim.ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang dengan jalan batil.[3] 

Jika kita kaitkan dengan jual beli gharar kata 
“Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil” merupakan suatu contoh jual beli gharar. Dimana apabila seseorang melakukan jual beli yang mengandung gharar akan dikategorikan sebagai memakan harta orang dengan cara yang batil dimana kalau kita lihat pengertian gharar ini adalah ketidakjelasan. Dan akan mempunyai potensi untuk merugikan baik si penjual ataupun si pembeli. Sebagai contoh :
Ada seseorang yang memiliki pohon durian dan pohon tersebut nampak memilki bunga,si A yang merupakan sorang penjual buah durian di pasar membayar buah durian tersebut sebelum matang atau masih dalam keadaan bunga. Si B pun menyetujuinya dan menerima uang dari si A yang telah membayar pohon si B. Suatu saat si A ingin memanen buah yang telah di belinya tersebut kepada si B tetapi kenyataanya buah tersebut kebanyakan rusak,tidak sesuai dengan harapan si A.
           
     Dalam contoh di atas jelas kita lihat bahwa si A dirugikan karena tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan si A. Islam merupakan agama yang paling sempurna melarang jual beli seperti itu. dalam buku yang ditulis oleh  Afzalur Rahman kitab suci Al-Qur’an dan Hadis dengan tegas telah melarang semua transaksi bisnis yang mengandung unsur  kecurangan dalam segala bentuk terhadap pihak lain : Hal itu mungkin dalam bentuk penipuan atau kejahatan,atau memperoleh keuntungan dengan tidak semestinya atau resiko. Yang menuju ketidakpastian di dalam suatu bisnis atau sejenisnya.[4]

Menurut Syekh Muhammad Mutawally Sya’rawi,pada ayat di atas Allah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan harta disini adalah milik umum. Terkadang harta itu milik pribadi,namun dalam waktu yang sama di dalam harta pribadi itu terdapat juga di dalamnya milik orang lain,dalam hal ini harta itu dapat dikategorikan milik orang banyak. Penentu dari perputaran harta milik umum itu adalah Allah bukan yang lainnya. Karena dengan menuruti hukum Allah tidak akan terjadi penzaliman terhadap harta orang lain.

     Ayat ini juga mengandung hukum pelarangan dari segala bentk pencurian,perampokan,pencopetan dan korupsi. Seakan-akan Allah Swt mengatakan: ”Jangan sekali-kali kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu,” karena jika kamu berkhianat berarti kamu telah memakan harta dengan batil.[5]

Hadis larangan menjual makanan sebelum matang:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Saya membaca di hadapan Malikdari Nafi' dari Ibnu Umar bahwasannya Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan hingga tampak matangnya, beliau melarang hal itu kepada penjual dan pembeli. Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami'Ubaidillah dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallu 'alaihi wa sallam seperti hadits di atas.

Kesimpulan Hadis:
1)    Larangan menjual buah-buahan sebelum tampak matang.
2)      Larangan itu mengharuskan kerusakan,sehingga jual bel buah-buahan yang belum matang tidak sah.
3)    Boleh menjualnya setelah tampak matang,dengan syarat pemutusan pada saat itu pula
4)      Hikmah larangan ini,bahwa sebelum matang,buah-buahan masih rentan terhadap kerusakan dan gangguan. Jika buah-buahan rusak, maka pembelilah yang harus menanggungnya,sehingga tidak ada manfaat yang dia peroleh,sehingga penjual dianggap mengambil harta orang lain.[6]

      Menurut Abdul Halim Hasan adapun maksud “Memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil” ialah mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak dibolehkan syarak,sekalipun yang memiliki harta merasa ridha dan senang hati menyerahkan hartanya itu.[7]          

 Konsep gharar dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
1)    Kelompok pertama adalah unsur resiko yang mengandung keraguan,probabilitas danketidakpastian secara dominan.
2)    Sedangkan kelompok kedua unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

A.  DASAR HUKUM GHARAR
Ø  Pada Hadits Rasulullah.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar

Dari sabda Rasulullah di atas jelas telah dikatakan Rasulullah SAW bahwa jual beli gharar itu merupakan hal yang dilarang jadi tidak ada alasan untuk kita untuk melakukan jual beli yang seperti ini. Sangat besar mudharatnya apabila kita sebagai ummat beliau melakukan ataupun melanggar larangan beliau karena ini akan menimbulkan sebuah perpecahan di internal ummat islam sendiri dan akan menimbulkan kebencian karena telah terjadi kecurangan antara penjual dan pembeli.
 Jika kita kaitkan kepada kehidupan kita sekarang, kita mungkiin akan di belit oleh masalah hukum yang memang telah di tegakkan di sekitar kita. Tetapi jika kita kaitkan ke kehidupan akhirat, kita akan mendapatkan belasan dari Allah SWT sesuai dengan kalam Allah di Al-qur’an pada surah Al-Zalalah ayat 8 :

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (٨)

dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.”
               
            Gharar merupakan suatu kegiatan yang memilki potensi untuk membuat kita meraup untung sebanyak-banyaknya,makanya manusia bisa terlena ke dalam jual beli ini. Dan nabi Muhammad SAW merupakan sosok nabi terakhir yang di turunkan untuk menyempurnakan akhlak-akhlak manusia yang kurang sesuai dengan syari’at islam. Dan melarang ummatnya melakukan jual beli gharar karena pada masa itu jual beli ini marak terjadi pada ummat islam pada saati itu dan sekarang.
Ø  Pada Surah An-Nisa : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta kamu sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya), kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani kamu.”
     Menurut Abdullah Yusuf Ali ayat ini mengandung makna:
(1)  semua harta kekayaan kita yang kita pegang sebagai amanat,baik itu atas nama kita,atau kepunyaan masyarakat atau rakyat di bawah pengawasan kita,pemborosannya tidak dibenarkan.

(2)  kita menjumpai ayat yang sama dalam Al-Baqarah ayat 188 yang memberi peringatan kepada kita terhadap sifat serakah. Disini terdapat isyarat yang mendorong kita agar dalam mengembangkan harta ditempuh cara perdagangan (lalu lntas niaga).

(3) kepada kita diingatkan bahwa keborosan dapat menghancurkan kita sendiri. Tetapi disini juga terdapat makan yang lebih bersifat umum: kita harus berhati-hati terhadap hidup kita   dan hidup orang lain. Tidak boleh kita memperlakukan kekerasan. Ini sebaliknya daripada “cara perdagangan atas dasar suka sama suka”.

(4) sikap kekerasaan terhadap saudara-saudara kita sediri sungguh tidak pantas,mengingat Allah mencintai kita dan selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua makhluk-Nya.[8]
     Menurut Maraghi di dalam ayat ini terdapat isyarat adanya berbagai faedah:
1.    Dasar halalnya perniagaan adalah saling meridhai antara pembeli dan penjual. Penipuan,pendustaan dan pemalsuan adalah hal-hal yang diharamkan.
2.    Segala yang ada di dunia berupa perniagaan dan apa yang tersimpan di dalam maknanya seperti kebatilan yang tidak kekal dan tidak tetap,hendaknya tidak melalaikan orang berakal untuk mempersiapkan diri demi kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal.
3.    Mengisyaratkan bahwa sebagian besar jenis perniagaan mengandung makna memakan harta dengan batil. Sebab pembatasan nilai sesuatu dan menjadikan harganya sesuai dengan ukurannya berdasar neraca yang lurus hampir-hampir merupakan sesuatu yang mustahil. Oleh sebab itu, disini berlaku toleransi jika salah satu diantara dua benda pengganti lebih besar daripada yang lainnya,atau yang menjadi penyebab tambahnya harga itu adalah kepandaian pedagang di dalam menghiasi barang-barang dagangannya,dan melariskannya dengan perkataan yang indah tanpa pemalsuan dan penipuan.[9]
B.     CARA MENGHINDARI PERNIAGAAN YANG MENGANDUNG GHARAR.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩) 
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dalam ayat ini di jelaskan bahwa kita dituntut agar melakukan jual beli dengan ikhlas dan suka sama suka. Di dalam buku Abdullah lam bin Ibrahim yang berjudul Fiqh Finansial di  muat suatu syarat perniagaan yang baik berkenaan dengan ayat di atas karena kita di suruh leh ALLAH SWT untuk melakukak perniagaan yang baik dan sesuai dengan syari’at islam. Adapun syarat untuk melakukan  perniagaan dengan baik adalah :
1.    Beriman kepada ALLAH Swt.
Hal itu,karena amal perbuatan harus dilandasi oleh keimanan agarmenjadi amal yang dapat diterima,dan termasuk di dalam amal tersebut adalah membelanjakan harta. Adapun dalilnya adalah :
قُلْ أَنْفِقُوا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا لَنْ يُتَقَبَّلَ مِنْكُمْ إِنَّكُمْ كُنْتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ (٥٣)وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلا وَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤)
Artinya:
53. Katakanlah: "Nafkahkanlah hartamu, baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, Namun nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik.
54. dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.
Ayat ini memberikan pengarahan,bahwa sesungguhnya yang menghalangi diterimanya pengeluaran infaq kaum uslimin adalah lantaran kefasikan dan kekufuran mereka kepada ALLAH Swt. dan Rasul-Nya,dan hal ini sekaligus menunjukkan bahwa syarat di terimanya infaq adalah harus ada keimanan kepada ALLAH SWT.
2.    Ikhlas karena ALLAH Swt semata.
setiap muslim ketika membelanjakan harta benda dan berinfaq harus meluruskan niatnya,agar itu benar-benar ikhlas karena ALLAH semata tidak bo;eh bercampur dengan sifat riya’nya dan juga demi mengharapkan ridha Allah Swt. sedangkan dalilnya sebagai berikut :
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلأنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ (٢٧٢)
272. bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).
Ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar berinfak dengan niat untuk memperoleh ridha Allah Swt semata,dan itulah yang disebut ikhlas.
3.    Usaha yang baik
Di antara syarat diterimanya infak dan pembelanjaan harta benda adalah,harta tersebut harus diperoleh dengan cara yang disyariatkan dan baik,bukan dengan cara yang diharamkan. 
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Ayat ini menerangkan bahwa,sesungguhnya Allah Swt tidak akan menerima sedekah,hajinya,jihadnya dan silaturahminya orang-orang yang mempraktikkan riba. Sesungguhnya Allah Swt menumbuhkan dan menyuburkan sedekah di dunia dengan keberkahan, dan memperbanyak pahalanya dengan berlipat ganda di akhirat.[10]
C.     RUKUN JUAL BELI
Selain kita tahu cara untuk melakukan perniagaan yang baik maka lebih baik mengetahui rukun jual beli agar tidak melenceng dari syari’at islam. Rukun merupakan suatu pedoman atau pembimbing agar tidak keluar dari koridor yang telah di tentukan. Karena kalau sudah keluar dari koridor yang telah ditentukan maka akan berpotensi untuk melakukan suatu perniagaan yang bathil. Misalnya itu gharar. Adapun rukunnya yaitu :
1.    Penjual dan pembeli
Syaratnya adalah :
Ø  Berakal
Ø  Dengan kehendak sendiri(suka sama suka)
Ø  Tidak mubazzir
Ø  Baligh
2.    Uang dan benda yang di beli
Syaratnya adalah :
Ø  Suci,Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan,  seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
Ø  Ada manfaatnya,tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalm arti menyia-nyiakan(memboroskan) harta yang terlarang dalam Al-Qur’an.
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)
27.  Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Ø  Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya akan yang ada dalm laut,barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya,barang yang sedang dijaminkan,sebab semua itu mengandung tipu daya.
Ø  Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual,kepunyaan yang diwakilinya,atau yang mengusahakannya.
Ø  Barang tersebut diketahui si penjual dan si pembeli baik itu zat,kadar,sifatnya dengan jelas sehingga antara keduanya tidak ada lagi unsur tipu daya.


3.    Lafaz ijab dan kabul
Ijab adalah perkataan si penjual, dan kabul adalah perkataan si pembeli.Menurut kebanyakan ulama suka sama suka diketahui dengan jelas melalui perkataan yaitu ijab dan kabul. Tetapi menurut Nawawi, Mutawali, Bagawi, lafaz itu bukan merupakan rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja.
Menurut ulama yang mewajibkan lafaz,lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat :
Ø  Keadaan ijab dan kabul berhubungan. Artinya sala satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
Ø  Makna keduanya hendaklah mufakat walaupun lafaz kedua-duanya berlainan.
Ø  Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain,seperti katanya,”Kalau saya jadi pergi,saya jual barang ini sekian.”
Ø  Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.[11]
D.   Bentuk-Bentuk jual beli gharar.
1.      Yang dilarang
Menurut ulama fiqih, bentuk-bentuk gharar yang di larang adalah :
Ø  Tidak ada kemampuan penjual untuk menyerahkan objek akad pada waktu terjadi akad, baik objek akad itu sudah ada maupun belum ada. Umpamanya : menjual janin yang masih dalam perut binatang ternak tanpa menjual induknya.
Ø  Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Apabila barang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahkan kepada pembeli, maka pembeli itu belum boleh menjual barang itu kepada pembeli lain.Akad semacam ini mengandung gharar, karena terdapat kemungkinan rusak atau hilang objek akad, sehingga akad jual beli pertama dan yang kedua menjadi batal.
Ø  Tidak ada kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual. Wahbah az-Zuhaili berpendapat, bahwa ketidakpastian tersebut merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar larangannya.
Ø  Tidak ada kepastian tentang sifat tertentu dari barang yang dijual. Umpamanya: penjual berkata : Saya jual sepeda yang ada di rumah saya kepada anda”,tanpa menentukan ciri-ciri sepeda tersebut secara tegas. Termasuk ke dalam bentuk ini adalah menjual buah-buahan yang masih di pohon dan belum layak dikonsumsi.
Ø  Tidak ada kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Umpanya : orang berkata.”Saya jual beras kepada anda sesuai dengan harga yang berlaku pada hari ini”. Padahal jenis beras juga bermacam-macam dan harganya juga tidak sama.
Ø  Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan objek akad. Umpanya: “Saya jual kepadamu jika Zainal datang”. Jual beli semacam ini termasuk gharar,karena objek akad dipandang belum ada.
Ø  Tidak ada ketegasan bentuk transaksi,yaitu ada 2 macam atau lebih yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih waktu terjadi akad[12]. Umpanya: Seorang pedagang menawarkan barang dagangannya dengan dua cara; kalau di bayar dengan cicilan selama 1 bulan harganya Rp 100.000,- tetapi kalau dibayar dengan waktu cicilan 3 bulan maka harganya Rp 150.000,-. Pembeli menyetujui untuk membeli barang tersebut, sedangkan nama pembayarannya baru akan di tentukan pada 1 bulan berikutnya dengan berdasarkan kemampuan bayar dari pembeli.[13]
Ø  Tidak ada kepastian objek akad, karena ada 2 objek akad yang berbeda dalam satu transaksi. Umpanya: Salah satu dari potong yang berbeda mutunya dijual dengan harga yang sama.
Ø  Kondisi objek akad,tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam  transaksi. Umpanya : Menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit,di dalamnya terdapat jual beli gharar,karena baik penjual maupun pembeli berspekulasi dalam transaksi ini.[14]
Ø  Jual beli husha’ misalnya : pembeli memegang tongkat,jika pembeli menjatuhkan tongkat wajib membeli.
Ø   Jual beli munababzah, yaitu jual beli dengan cara lempar-melempari,seperti seseorang melempar bajunya,kemudian yang lain pun melempar bajunya maka jadilah jual beli.
Ø  Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain,maka wajib membelinya.[15].

b.      Yang di perbolehkan
Jual-beli yang mengandung gharar, menurut hukumnya ada tiga macam.
Ø  Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).
Ø  Di sepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Menurut ijma’, semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama menukilkan ijma tentang bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang ringan. Di antaranya, umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah” .
Ibnul Qayyim juga mengatakan : “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya”.
Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan, karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.
Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan, atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah, atau ghararnya ringan.
Ø  Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.
Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka –diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya, shingga mengharamkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Dalam permasalahan ini,madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu
diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya”
Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di lepas.[16]

TABEL AYAT GHARAR
NO
BENTUK KATA
SURAH:AYAT
FREKUENSI
KETERANGAN
1
Gharra
8:49
1
Madaniyah
2
Gharrahum
3:24
1
Madaniyah
3
Gharraka
82:6
1
Makkiyah
4
Gharrakum
57:14
1
Madaniyah
5
Gharrat-humu
6:70
3
Makkiyah
6:130
Makkiyah
7:51
Makkiyah
6
Gharratkumu
45:35
2
Makkiyah
57:14
Madaniyah
7
Gharuru
31:33
3
Makkiyah
35:5
Makkiyah
57:14
Madaniyah













DAFTAR PUSTAKA
Abdullah lam bin Ibrahim,Fiqh Finansial,Era Intermedia,Solo 2005
Abdullah Yusuf Ali,Qur’an Terjemahan dan Tafsirny,Jakarta:Pustaka Firdaus,1993
Adiwarman A. Karim, Bank Isam Analisis Fiqih dan keuangan, Jakarta:Rajawali Pers,2009
Afzalur Rahman,Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4,Jakarta,PT.Dana Bhakti Wakaf,1995
Ahmad Mustafa Al-Maraghi,Tafsir AL-Maraghi,Semarang:PT. Karya Toha Putra,1993
Bukhrari Alma dan Donni Juni Priansah,Manajemen Bisnis Syari’ah,Bandung:Alfabeta,2009
H.Hendi Suhendi,Membahas Ekonomi Islam,Jakarta,Rajawali Pers,2011
H.Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam,Sinar Baru Algesindo,Bandung,1954
http://mahir-al-hujjah.blogspot.com,11-04-2013
M.Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,Jakarta:Rajawali Pers,2004
Madani,Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah,Jakarta:Rajawali Pers,2011
Syekh Abdul Halim Hasan Tafsir Al-Ahkam,Jakarta:Kencana,2006
Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi,Tafsir Sya’rawi,Jakarta:Duta Azhar,2004


[1] Afzalur Rahman,Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4,(Jakarta,PT.Dana Bhakti Wakaf,1995) h. 161
[2] M.Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Rajawali Pers,2004) h. 147
[3] K.H.Q.SHALEH,H.A.A.DAHLAN,dkk, Asbabun nuzul,(Bandung,CV penerbit Diponegoro,2009)h.54
[4] Afzalur Rahman,Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4,(Jakarta:PT.Dana Bhakti Wakaf,1995) h. 162
[5] Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi,Tafsir Sya’rawi,(Jakarta:Duta Azhar,2004) h. 598
[6] Madani,Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah(Jakarta:Rajawali Pers,2011) h.112-113
[7] Syekh Abdul Halim Hasan Tafsir Al-Ahkam,(Jakarta:Kencana,2006) h.44
[8] Abdullah Yusuf Ali,Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya,(Jakarta:Pustaka Firdaus,1993) h.188
[9] Ahmad Mustafa Al-Maraghi,Tafsir AL-Maraghi,(Semarang:PT. Karya Toha Putra,1993) h. 26-27
[10] Abdullah lam bin Ibrahim,Fiqh Finansial,(Era Intermedia,Solo 2005) h.131-134
[11] H.Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam,(Sinar Baru Algesindo,Bandung,1954) h.279-282
[12] M.Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Rajawali Pers,2004) h. 149
[13] Adiwarman A. Karim, Bank Isam Analisis Fiqih dan keuangan, (Jakarta:Rajawali Pers,2009) h. 34
[14] M.Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Rajawali Pers,2004) h.148-149
[15] Bukhrari Alma dan Donni Juni Priansah,Manajemen Bisnis Syari’ah,(Bandung:Alfabeta,2009) h.253

SUKU BUNGA

Pegertian Bunga Bank Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kep...