ISLAM DI KOTA YATSRIB DAN SISTEM EKONOMI DI MASA RASULULLAH SAW
A. LATAR BELAKANG
Sebelum Islam datang, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat senantisa hidup dalam ketidakpastian. Oleh karena itu, beberapa kelompok penduduk kota Yatsrib berinisiatif menemui nabi Muhammad Saw yang terkenal dengan sifat al-amin (terpercaya) untuk memintanya agar menjadi pemimpin mereka. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam. Atas dasar pertemuan dan setelah mendapat perintah Allah Swt, Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Makkah ke Kota Yatsrib. Sesuai perjanjian, di kota yang subur ini Rasulullah Saw disambut dengan hangat serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib. Sejak saat itu Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah.
Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat (mu’amalah) banyak turun di kota ini. Setelah diangkat sebagai kepala negara, Rasulullah Saw segera melakukan perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan Rasulullah Saw adalah membangun sebuah kehidupan sosial baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan yang bersih dari berbagai tradisi, ritual, dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai qurani, seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.
Beberapa kegiatan yang dilakukan Rasulullah setibanya di Madinah yaitu :
1. Membangun Masjid
Setibanya di kota madinah, tugas pertama yang di lakukan oleh Rasulullah SAW adalah mendirkan masjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasullullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem, akidah dan tatanan Islam baru tumbuh dn berkembang dari kehidupn sosial yang di jiwai oleh semangat yang lahir dari aktivitas mesjid. Di tempat ini, kaum Muslimin akan sering bertemu dan saling berkomunikasi, sehingga dapat menambah tali ukhwah dan mahabbah dengan sesama Muslimin.
Tanah pembangunan mesjid pertama ketika masa Rasulullah di peroleh dari sumbangan Abu Bakar r.a. yang membeli tanah milik dua anak yatim seharga sepuluh dinar. Pembangunan di lakukun dengan struktur yang sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan bebatuan dan batu bata sebagai dindingnya, daun-daun palem sebagai atapnya serta batang-batang pohon kurma sebagai tiangnya.[1] Rasulullah bersama pengikutnya bergotong royong menyelesaikan pembangunan mesjid ini secara suka rela.
Selain menjadi tempat ibadah, mesjid yang di kemudian hari di kenal sebagai mesjid nabawi yang berfungsi sebagai Islamic Centre. Seluruh aktifitas kaum Muslimin di pusatkan di tempat ini, mulai dari tempat pertemuan para anggota perlemen, secretariat negara, mahkamah agung, markas besar tentara, pusat pendidikan dan pelatihan para juru dakwah, hingga baitul mal. Dengan adanya fungsi tersebut, Rasulullah Saw dapat menghemat/ menghindar dari pengeluaran untuk pembangunan infrastuktur bagi negara madinah yang baru terbentuk.
2. Merehabilitasi Kaum Muslim
Kaum Muslim saat itu di madinah sekitar 150 keluarga, baik yang sudah tiba di madinah maupun yang masih dalam perjalanan, dan berada dalam kondisi yang memprihatikan karena hanya membawa sedikit pembekalan. Tugas Rasulullah Saw yang di lakukan berikutnya adalah memperbaiki tingkat kehidupan sosial dan ekonomi kaum yang baru sampai ke madinah, karena di madinah mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian dan pemerintahan belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka. Untuk memperbaiki keadaan ini serta menghindari kemungkinan munculnya dampak negatif di kemudian hari, Rasulullah Saw menerapkan kebijakan yang sangat arif dan bijaksana, yaitu dengan cara menanamkan tali persaudaraan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar (penduduk Muslim madinah).dalam hal ini Rasulullah membentuk persaudaraan yang baru, yakni persaudaraan seagama bukan lagi sedarah.
Persaudaraan yang di bentuk Rasulullah di antara sahabatnya bukan sekedar syiar yang di ucapkan, akan tetapi merupakan kenyataan yang sangat realitas dalam kehidupan dan menyangkut segala bentuk hubungan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar. Dengan demikian konsekuensi ukhwah ini di dasarkan pada prinsip-prinsip material. Rasulullah Saw memerintahkan agar setiap individu atau keluarga dari kaum anshar memberikan sebagian hartanya kepada kaum muhajirin guna untuk di jadikan pegangan dalam melangsungkan hidupnya sampai mereka memperoleh mata pencaharian baru.
3. Membuat Konstitusi Negara
Setelah kaum muhajirin dan kaum anshar menjadi ukhwah, Tugas berikutnya yang di lakukan Rasulullah adalah menyusun Konstitusi Negara yang menyatakan tentang kedaulatan madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara, baik Muslim maupun non- Muslim, serta sistem pertahanan dan keamanan negara. Sesuai dengan prinsip Islam, setiap orang dilarang melakukan berbagai aktifitas yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan manusia dan alam. Dalam hal ini, Rasulullah Saw melarang setiap individu untuk memotong rumput, menebang pohon atau membawa masuk senjata untuk tujuan kekerasan atau pun peperangan di sekitar kota madinah.[2]
4. Meletakkan Dasar-Dasar Sistem Keuangan Negara
Setelah melakukan kostitusi negara, Rasulullah meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dengan ketentuan Al Qur’an. Seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di hapus dan di gantikan dengan pradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.
B. SISTEM EKONOMI
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar Sistem Keuangan Negara serta strategi ekonomi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan langkah yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakulerpada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama dan negara dapat berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Tujuan dan pencanangan strategis dalam bidang ekonomi adalah untuk memungkinkan setiap pribadi Muslim memenuhi kebutuhan hidup mereka serta bisa merasakan ksejahteraan (welfare) dalam kehidupan mereka. Perhatian Islam terhadap permasalahan ekonomi atau penanggulangan masalah kemiskinan tidak bisa diperbandingkan dengan ajaran agama samawi lain atau aturan manapun. Di dalam al-qur'an banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang menganjurkan memberi makan fakir miskin (mencukupi kebutuhan mereka, baik pangan, papan maupun sandang), menyatakan bahwa dalam harta si kaya terdapat hak si miskin dan lain sebagainya. Untuk itu, praktek ekonomi atau muamalah yang tidak sesuai dengan prinsip tersebut dieliminasi oleh Islam, seperti mengeliminasi praktek riba yang sudah sangat mengakar dalam kehidupan masyarakat jahiliyah,[3] mengakui dan menganjurkan praktek kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak, seperti syirkah, mudharabah dan lain sebagainya serta mewajibkan zakat untuk menutup jurang yang menganga antara si kaya dan si miskin.[4]
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW berakar dari prinsip-prinsip Qur'ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allahsemata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dengan demikian, dalam kegiatan ekonomipun manusia harus tetap memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan Allah, seperti tidak mempergunakan sumder daya ekonomi untuk hal yang dilarang dan mempunyai perhitungan yang matang dalam mengeksploitasi alam.
Dalam rangka mengemban amanah sebagai Khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan ataupun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral.
Allah Swt. telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur'ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Olehkarena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga, dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
Berdasarkan pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan tegas dan keras melarang segala bentuk praktik ribawi atau bunga uang. Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan cara-cara ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan menyesatkan karena praktek-praktek ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, oleh penjual terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan terhadap bawahannya.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam yang dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Kekuasaan tertinggi adalah milik Allah SWT dan Allah SWT adalah pemilik yang absolut atas semua yang ada.
2. Manusia merupakan pemimpin Allah di bumi, tetapi bukan pemilik yang sebenarnya.
3. Semua yang dimiliki oleh manusia karena atas seizin Allah SWT, oleh karena itu saudara-saudaranya yang kurang beruntung memliki hak atas sebagian kekayaan saudara-saudaranya yang lebih beruntung.
4. Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus dan ditimbun.
5. Kekayaan harus diputar
6. Eksploitasi dalam ekonomi segala bentuknya harus dihilangkan.
7. Menghilangkan jurang perbedaan antar individu dalam perekonomian dapat menghapuskan konflik antar golongan dengan cara membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya kepada para ahli warisnya.
8. Menetapkan kewajiban yang sifatnya wajib dan sukarela bagi semua individu termasuk bagi anggota masyarakat yang miskin.[5]
Ada beberapa sistem ekonomi pada masa Rasulullah Saw, yaitu:
1. Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah Saw berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya berorientasi pada akhirat tanpa memikirkan kehidupan duniawi ataupun sebliknya hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.
2. Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Dengan demikian, pada dasarnya Islam mengakui kepemilikan pribadi. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan ataupun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral. Islam sangat menentang setiap aktivitas ekonomi yang bertujuan melakukan penimbunan kekayaan atau pengambilan keuntungan yang tidak layak dari kesulitan orang lain atau penyalahgunaannya.
3. Allah Swt telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apapun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Kesuksesan seseorang dalam berusaha akan terwujud jika dilalui dengan kerja keras, ketekunan, dan kesabaran disertai dengan doa yang tidak pernah putus.
4. Oleh karena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga, dan riba bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tetapi juga para pelakunya layak dihukum.
5. Dengan demikian, menumpuk harta serta tidak menggunakannya untuk berbagai tujuan yang bermanfaat bagi umat manusia merupakan perbuatan yang tidak diperkenankan dalam Islam, karena menjadikan seseorang kaya raya sementara kepentingan dan kesejahteraan orang lain dan masyarakat terampas.
6. Islam memandang bahwa setiap orang mempunyai hak penuh untuk dapat memiiki penghasilan atau memperoleh harta kekayaan secara legal sehingga dapat menunaikan kewajiban agamanya dengan baik. Oleh karena itu pula, setelah ia meninggal dunia, semua harta miliknya yang telah dibersihkan dari seluruh kewajiban dan utang harus dibagikan kepada ahli warisnya.
7. Ide yang mendasari keseluruhan sistem warisan ini adalah untuk pendistribusian kepemilikan atau kekayaan seseorang kepada orang lainnya, semakin banyak orang yang menerimanya akan semakin baik pula implikasinya bagi kehidupan manusia secara keseluruhan.
8. Menurut para mufassir dan sejarawan, perintah terakhir tentang pelarangan riba datang pada tahun 9 H dan diumumkan oleh Rasulullah pada saat menyampaikan khutbah Haji Wada’ pada tahun 10 H.
9. Ketika melarang segala bentuk praktik ribawi, di sisi lain, Islam memperkenalkan sebuah konsep baru yang telah dapat mengubah seluruh cara pandang kaum Muslimin. Konsep tersebut berupa perintah mengeluarkan sedekah, baik yang bersifat wajib ataupun sunnah. Sedekah atau membelanjakan harta hanya untuk mengharap keridhaan Allah semata antara lain : tolong menolong, pemberian makanan dan pinjaman kepada sanak saudara yang miskin, anak-anak yatim, para janda, orang-orang miskin, tawanan, musafir, pengutang, para tetangga bahkan lembaga.
10. Dalam Al-Quran, pinjaman yang demikian disebut Allah sebagai pinjaman yang ditujukan kepada Allah dan niscaya Allah akan melipatgandakannya dalam jumlah yang sangat besar jika dikeluarkan dengan niat karena Allah semata.
[1] . Al- Baladzuri, Kitab Futuh al-Buldan, terjemahan Philip K. Hitti, Beirut, 1966, Hal. 20 dan Syibli Nu’man, seerat an Nabi (Karachi: Matbee Ma’arif Azamgarh,1973), Vol. 1, Hal. 281.
[2] Al- Baladzuri, ibid., hal. 21-22
[3]. Pengharaman riba dilakukan dalam empat tahap, hal ini dikarenakan praktek riba sudah sangat mengakar kuat dalam masyarakat jahiliyah sehingga akan menimbulkan resistensi yang kuat dari berbagai pihak kalau diharamkan dalam satu tahap saja. Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa'i` al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta : Dinamika Berkah Utama, th), h. 391.
[4] Ahmad Ibrahim Abu Abu Sinn, Manajemen syariah, terj. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006). h. 88.
[5]. Adiwaman Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer , Jakarta: Gema insani press, 2003,. Hal, 36