Friday, January 29, 2016

PENGERTIAN FILSAFAT DAN CABANG- CABANGNYA



PENDAHULUAN
            Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan bagai seorang yang sedang berpijak di bumi sedang tengadah ke arah bintang-bintang di langit. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak gunung yang tinggi memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.
            Filsafat, mengikuti cara berfikir Will Durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri adalah sebagai pengetahuan dan filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan[1].
            Namun, apakah sebenarnya filsafat itu? Dan masalah-masalah apa saja yang dikaji oleh filsafat? Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, makalah ini sengaja mengangkat rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian filsafat? Baik secara bahasa (etimologis) atau berdasarkan istilah (terminologis)
2.      Ada berapakah cabang-cabang ilmu filsafat? Apa saja?
3.      Berdasarkan apakah pembagian cabang-cabang ilmu filsafat tersebut?






PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yang terdiri dari dua kata, yaitu philein, yang berarti cinta, dan sophos yang berarti hikmat (wisdom). Sehingga berdasarkan asal katanya itu filsafat dapat diartikan cinta akan kebijaksanaan/hikmat.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, orang Arab memindahkan kata Yunani tersebut,philosophia, ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikannya dengan tabiat bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa’lala, fa’lalah, dan fi’lal. Dengan demikian kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya menjadi falsafah atau filsaf.Masih menurut Prof. Dr. Harun Nasution, kata filsafat dalam bahasa Indonesia bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari bahasa Barat (Inggris)philosophy. Di sini ia masih mempertanyakan apakah fil diambil dari bahasa Inggris dansafah dari bahasa Arab, sehingga menjadi kata filsafat?[2]
Sedangkan pengertian istilah filsafat secara terminologis ada bermacam-macam. Setiap filsuf memiliki pengertian dan definisi yang berbeda-beda tentang filsafat. Hal ini antara lain disebabkan karena :
1.      Para filsuf berbeda pendapat dalam menentukan prioritas objek kajian filsafatnya. Ada filsuf yang menekankan pada alam, ada yang menekankan pada menusia, ada yang menekankan pada ilmu pengetahuan, dll.
2.      Masing-masing definisi dari para filsuf tersebut baru menggambarkan sebagian saja dari system filsafat, tidak menggambarkan system filsafat secara keseluruhan
3.      Sejak berkembangnya ilmu pengetahuan empiris, filsafat mengalami redefinisi dalam hal peran dan kontribusinya untuk pengetahuan manusia. Filsafat dewasa ini tidak sama dengan filsafat zaman Yunani kuno. Dan tidak sama pula dengan filsafat barat di zaman modern. Dewasa ini para filsuf mempersempit kajiannya hanya pada aspek-aspek tertentu di alam semesta.
4.      Para filsuf dewasa ini lebih tertarik untuk menganalisi kehidupan manusia secara nyata. Baik kehidupan manusia sebagai individu, maupun social dan cultural. Mereka tertarik pada masalah-masalah eksistensial, seperti pengalaman manusia, makna “aku”, makna penderitaan dan kebahagiaan, makna kebebasan dan keterkungkungan. Ini dimulai terutama sejak Kierkegaard (1813-1855), Husserl (1859-1938), dan para eksistensialis lainnya seperti Martin Heidegger (1889-1976) dan Paul Sartre (1905-1980)[3]
Di antara sekian banyaknya pengertian istilah filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf, ada beberapa yang sering dikemukakan, yaitu :
·         Plato mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada
·         Aristoteles berpendapat bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat merupakan ilmu yang umum sekali.
·         Imanuel Kant mengatakan bahwa filsafat adalah pokok dan pangkal segala pengetahuan dan pekerjaan
·         Fichte menyebut filsafat sebagai wissenschaftslehre atau ilmu dari ilmu-ilmu, yakni ilmu yang umum, yang menjadi dasar segala ilmu
·         Alfarabi mengatakan bahwa filsafat ialah mengetahui semua yang ujud karena ia ujud (al ‘ilmu bi almaujudat bima hiya maujudah)
·         E.S. Ames sebagaimana diuraikan oleh Drs. H. Ali Saifullah, merumuskan filsafat sebagai “a comprehensive view of life and its meaning, upon the basis of results of the various sciences” (cara pandang terhadap hidup dan hakikat kehidupan secara menyeluruh, atas dasar hasil dari berbagai ilmu)[4]
2.2. Cabang-cabang Filsafat
            Jika kita mengamati karya-karya besar filsuf, seperti aristoteles (384-322 SM) dan Imanuel Kant (1724-1804), ada tiga tema besar yang menjadi fokus kajian dalam karya-karya mereka, yakni kenyataan, nilai, dan pengetahuan. Ketiga tema besar tersebut masing-masing dikaji dalam tiga cabang besar filsafat. Kenyataan merupakan bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang kajian aksiologi, dan pengetahuan merupakan bidang kajian epistimologi[5].

Namun ada juga yang membagi cabang filsafat berdasarkan karakteristik objeknya. Berdasarkan karakteristik objeknya filsafat dibagi dua, yaitu
1.      filsafat umum/murni
a.       Metafisika, objeknya adalah hakikat tentang segala sesuatu yang ada.
b.      Epistemologi. Objeknya adalah pengetahuan/ kenyataan
c.       Logika. Merupakan studi penyusunan argumen-argumen dan penarikan kesimpulan yang valid. Namun ada juga yang  memasukkan Logika ke dalam kajian epistimologi.
d.      Aksiologi. Objek kajiannya adalah hakikat menilai kenyataan.
2.      Filsafat Khusus/Terapan, yang lebih mengkaji pada salah satu aspek kehidupan. Seperti misalnya filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat bahasa, dan lain sebagainya[6]
Pembagian cabang-cabang filsafat di atas tidak kaku. Seorang filsuf yang mengklaim bahwa pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis sering kali pula membahas masalah-masalah eksistensi manusia, kebudayaan, kondisi masyarakat, bahkan etika. Ini misalnya tampak dari filsafat Heidegger. Dalam bukunya yang terkenal, Being and Time (1979), dia menulis bahwa filsafatnya dimaksudkan untuk mencari dan memahami “ada”. Akan tetapi dia mengakui bahwa “ada” hanya dapat ditemukan pada eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dalam bukunya itu dia membahas mengenai keotentikan, kecemasan, dan pengalamn-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari[7].
2.2.1.      Metafisika
Koestenbaum (1968) mendefinisikan metafisika sebagai studi mengenai karakteristik-karakteristik yang sangat umum dan paling dasar dari kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Metafisika menguji aspek-aspek kenyataan seperti ruang dan waktu, kesadaran, jiwa dan materi, ada (being), eksistensi, perubahan, substansi dan sifat, aktual dan potensial, dan lain sebagainya.
Metafisika pada asasnya meneliti perbedaan antara penampakan (appearance) dan kenyataan (reality). Ada sejumlah aliran yang mencoba mengungkap hakikat kenyataan di balik penampakan tersebut. Misalnya aliran naturalism dan materialism percaya bahwa kenyataan paling dasar pada prinsipnya sama dengan peristiwa material dan natural[8].
Sejak zaman Yunani kuno sebagian besar filsafat diwarnai oleh pemikiran-pemikiran metafisik, kendati cukup banyak juga filsuf yang meragukan dan menolak metafisika. Para filsuf yang menolak metafisika beralasan bahwa metafisika tidak mungkin karena melampaui batas-batas kemampuan indera untuk membuktikan kebenaran-kebenarannya. Kebenaran-kebenaran yang dikemukakan oleh metafisika terlalu luas dan spekulatif, sehingga tidak dapat dibuktikan dan diukur kebenarannya[9]. Dalam perkembangannya, metafisika kemudian dibagi lagi menjadi tiga sub cabanga, yaitu :
a.       Ontology, mengkaji persoalan-persoalan tentang ada (dan tiada)
b.      Kosmologi, mengkaji persoalan-persoalan tentang alam semesta, asal-usul, dan unsur-unsur yang membentuk alam semesta
c.       Humanologi, mengkaji persoalan-persoalan tentang hakikat manusia, hubungan antara jiwa dan tubuh, kebebasan dan keterbatasan manusia
d.      Teologi, mengkaji persoalan-persoalan tentang Tuhan/agama
2.2.2.      Epistemologi dan Logika
Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori.dengan demikian epistemology adalah suatu kajian atau teori filsafat mengenai esensi pengetahuan.
Menurut Koestenbaum (1968), secara umum epistemology berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan “apakah pengetahuan?”. Tetapi secara spesifik epistemology berusaha menguji masalah-masalah yang kompleks, seperti hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan pribadi, status pengetahuan yang melampaui panca indera, status ontology dari teori-teori ilmiah, hubungan antara konsep-konsep atau kata-kata yang bersifat umum dengan objek-objek yang ditunjuk oleh konsep-konsep atau kata-kata tersebut, dan analisis atas tindakan mengetahui itu sendiri[10].
Menurut J.F. Ferrier, epistemology pada dasarnya berkenaan dengan pengujian filsafati terhadap batas-batas, sumber-sumber, struktur-struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan[11].
Logika sebagai salah satu cabang filsafat pada dasarnya adalah cara untuk menarik kesimpulan yang valid. Secara luas logika dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berfikir  secara sahih. Ada banyak cara menarik kesimpulan. Namun secara garis besar, semua itu didigolongkan menjadi dua cara yaitu logika induktif dan logika deduktif.
Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif berhubungan dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus atau individual. Baik logika induktif maupun logika deduktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan keputusan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.
2.2.3.      Aksiologi
Aksiologi merupakan kajian filsafat mengenai nilai. Nilai sendiri adalah suatu kualitas yang kita berikan kepada sesuatu objek sehingga sesuatu itu dianggap bernilai atau tidak bernilai. Pada masa kini objeknya lebih banyak berupa sains dan teknologi.  Peradaban manusia masa kini sangat bergantung pada ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Berkat kemajuan pada kedua bidang ini pemenuhan kebutuhan manusia dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Banyak sekali penemuan-penemuan baru yang amat membantu kehidupan manusia, seperti misalnya penemuan dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Namun di pihak lain, perkembangan-perkembangan tersebut mengesampingkan factor manusia. Di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia, namun sering kali kini yang terjadi adalah sebaliknya. Manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi manusia, melainkan dia ada bertujuan untuk eksistensinya sendiri. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri.
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang ada. Masalah nilai moral tidak bisa terlepas dari tekat manusia untuk menemukan kebenaran. Sebab untuk menemukan kebenaran dan kemudian terutama untuk mempertahankannya, diperlukan keberanian moral.
Dihadapkan dengan  masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua golongan pendapat.
a.       Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersikap netral terhadap nilai-nilai, bik itu secara ontologis, mau pun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain dalam mempergunakannya, apakah untuk kebaikan atau untuk keburukan.
b.      Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan. Sedangkan dalam penggunaannya bahkan pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral[12].
Nilai yang menjadi kajian aksiologi ada dua, itu sebabnya aksiologi dibagi menjadi dua sub cabang yaitu :
a.       Etika. Kajian filsafat mengenai baik dan buruk, lebih kepada bagaimana seharusnya manusia bersikap dan bertingkah laku, apa makna etika atau moralitas dalam kehidupan manusia
b.      Estetika. Nilai yang berhubungan dengan keindahan (indah dan buruk). Mengkaji mengenai keindahan, kesenian, kesenangan yang disebabkan oleh keindahan.




KESIMPULAN

            Filsafat terlahir pada awalnya adalah dikarenakan oleh keingintahuan manusia akan hakikat kehidupannya dan hakikat suatu kebenaran. Filsafat menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Oleh karena itu filsafat dikenal juga sebagai induk dari semua ilmu “the mother of the sciences”. Hal ini sesuai dengan arti filsafat secara bahasa yaitu cinta akan hikmat.
            Dalam mencari hakikat kebenaran tersebut setiap filsuf belum tentu menitikberatkan pada satu kajian yang sama. Dan berdasarkan objek kajian tersebut, filsafat dibagi dalam beberapa cabang, yakni:
1.      Metafisika, yang dibagi menjadi:
Ø  Ontology
Ø  Kosmologi
Ø  Humanologi
Ø  Teologi
2.      Epistemologi
3.      Logika
4.      Aksiologi, terbagi menjadi dua, yaitu:
Ø  Etika
Ø  Estetika








[1] Jujun S. Suriasumantri. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Penganta Populer. Jakarta: Sinar Harapan; hal. 20-22
[2] Dra. Zuhairini, dkk. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara; hal. 3
[3] Dr. Zainal Abidin. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers; hal. 10-13
[4] Dra. Zuhairini, dkk. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara ; hal. 4-6
[5] Dr. Zainal Abidin. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers; hal 24
[6] Dr. Redja Mudyaharjo. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung; hal.
[7] Dr. Zainal Abidin. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers; hal. 26
[8] Ibid; hal. 57-58
[9] Ibid; hal 64
[10] Ibid; hal. 34-35
[11] Ibid; hal 40
[12] Jujun S. Suriasumantri. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: 


No comments:

Post a Comment

SUKU BUNGA

Pegertian Bunga Bank Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kep...