PENDAHULUAN
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan bagai seorang yang sedang berpijak
di bumi sedang tengadah ke arah bintang-bintang di langit. Dia ingin mengetahui
hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak
gunung yang tinggi memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin
menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.
Filsafat, mengikuti cara berfikir Will Durant, dapat diibaratkan pasukan
marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan
infanteri adalah sebagai pengetahuan dan filsafatlah yang memenangkan tempat
berpijak bagi kegiatan keilmuan[1].
Namun, apakah sebenarnya filsafat itu? Dan masalah-masalah apa saja yang dikaji
oleh filsafat? Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, makalah ini
sengaja mengangkat rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah
pengertian filsafat? Baik secara bahasa (etimologis) atau berdasarkan istilah (terminologis)
2.
Ada
berapakah cabang-cabang ilmu filsafat? Apa saja?
3.
Berdasarkan
apakah pembagian cabang-cabang ilmu filsafat tersebut?
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia,
yang terdiri dari dua kata, yaitu philein, yang berarti cinta,
dan sophos yang berarti hikmat (wisdom). Sehingga berdasarkan asal
katanya itu filsafat dapat diartikan cinta akan kebijaksanaan/hikmat.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, orang Arab memindahkan kata
Yunani tersebut,philosophia, ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikannya
dengan tabiat bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa’lala,
fa’lalah, dan fi’lal. Dengan demikian kata benda dari kata
kerja falsafa seharusnya menjadi falsafah atau filsaf.Masih
menurut Prof. Dr. Harun Nasution, kata filsafat dalam bahasa Indonesia bukan
berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari bahasa Barat
(Inggris)philosophy. Di sini ia masih mempertanyakan
apakah fil diambil dari bahasa Inggris dansafah dari bahasa
Arab, sehingga menjadi kata filsafat?[2]
Sedangkan pengertian istilah filsafat secara terminologis ada
bermacam-macam. Setiap filsuf memiliki pengertian dan definisi yang
berbeda-beda tentang filsafat. Hal ini antara lain disebabkan karena :
1.
Para
filsuf berbeda pendapat dalam menentukan prioritas objek kajian filsafatnya.
Ada filsuf yang menekankan pada alam, ada yang menekankan pada menusia, ada
yang menekankan pada ilmu pengetahuan, dll.
2.
Masing-masing
definisi dari para filsuf tersebut baru menggambarkan sebagian saja dari system
filsafat, tidak menggambarkan system filsafat secara keseluruhan
3.
Sejak
berkembangnya ilmu pengetahuan empiris, filsafat mengalami redefinisi dalam hal
peran dan kontribusinya untuk pengetahuan manusia. Filsafat dewasa ini tidak
sama dengan filsafat zaman Yunani kuno. Dan tidak sama pula dengan filsafat
barat di zaman modern. Dewasa ini para filsuf mempersempit kajiannya hanya pada
aspek-aspek tertentu di alam semesta.
4.
Para
filsuf dewasa ini lebih tertarik untuk menganalisi kehidupan manusia secara
nyata. Baik kehidupan manusia sebagai individu, maupun social dan cultural.
Mereka tertarik pada masalah-masalah eksistensial, seperti pengalaman manusia,
makna “aku”, makna penderitaan dan kebahagiaan, makna kebebasan dan
keterkungkungan. Ini dimulai terutama sejak Kierkegaard (1813-1855), Husserl
(1859-1938), dan para eksistensialis lainnya seperti Martin Heidegger
(1889-1976) dan Paul Sartre (1905-1980)[3]
Di antara sekian banyaknya pengertian istilah filsafat yang
dikemukakan oleh para filsuf, ada beberapa yang sering dikemukakan, yaitu :
·
Plato mengatakan
bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada
·
Aristoteles berpendapat
bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan
demikian filsafat merupakan ilmu yang umum sekali.
·
Imanuel
Kant mengatakan bahwa filsafat adalah pokok dan pangkal segala pengetahuan
dan pekerjaan
·
Fichte menyebut
filsafat sebagai wissenschaftslehre atau ilmu dari ilmu-ilmu, yakni
ilmu yang umum, yang menjadi dasar segala ilmu
·
Alfarabi mengatakan
bahwa filsafat ialah mengetahui semua yang ujud karena ia ujud (al ‘ilmu bi
almaujudat bima hiya maujudah)
·
E.S.
Ames sebagaimana diuraikan oleh Drs. H. Ali Saifullah, merumuskan filsafat
sebagai “a comprehensive view of life and its meaning, upon the basis of
results of the various sciences” (cara pandang terhadap hidup dan hakikat
kehidupan secara menyeluruh, atas dasar hasil dari berbagai ilmu)[4]
2.2. Cabang-cabang Filsafat
Jika kita mengamati karya-karya besar filsuf, seperti aristoteles (384-322 SM)
dan Imanuel Kant (1724-1804), ada tiga tema besar yang menjadi fokus kajian
dalam karya-karya mereka, yakni kenyataan, nilai, dan pengetahuan. Ketiga tema
besar tersebut masing-masing dikaji dalam tiga cabang besar filsafat. Kenyataan
merupakan bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang kajian aksiologi, dan
pengetahuan merupakan bidang kajian epistimologi[5].
Namun ada juga yang membagi cabang filsafat berdasarkan
karakteristik objeknya. Berdasarkan karakteristik objeknya filsafat dibagi dua,
yaitu
1.
filsafat
umum/murni
a.
Metafisika,
objeknya adalah hakikat tentang segala sesuatu yang ada.
b.
Epistemologi.
Objeknya adalah pengetahuan/ kenyataan
c.
Logika.
Merupakan studi penyusunan argumen-argumen dan penarikan kesimpulan yang valid.
Namun ada juga yang memasukkan Logika ke dalam kajian epistimologi.
d.
Aksiologi.
Objek kajiannya adalah hakikat menilai kenyataan.
2.
Filsafat
Khusus/Terapan, yang lebih mengkaji pada salah satu aspek kehidupan. Seperti
misalnya filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat bahasa, dan lain
sebagainya[6]
Pembagian
cabang-cabang filsafat di atas tidak kaku. Seorang filsuf yang mengklaim bahwa
pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis sering kali pula membahas
masalah-masalah eksistensi manusia, kebudayaan, kondisi masyarakat, bahkan
etika. Ini misalnya tampak dari filsafat Heidegger. Dalam bukunya yang
terkenal, Being and Time (1979), dia menulis bahwa filsafatnya
dimaksudkan untuk mencari dan memahami “ada”. Akan tetapi dia mengakui bahwa
“ada” hanya dapat ditemukan pada eksistensi manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh sebab itu, dalam bukunya itu dia membahas mengenai
keotentikan, kecemasan, dan pengalamn-pengalaman manusia dalam kehidupan
sehari-hari[7].
2.2.1. Metafisika
Koestenbaum (1968) mendefinisikan metafisika sebagai studi mengenai
karakteristik-karakteristik yang sangat umum dan paling dasar dari kenyataan
yang sebenarnya (ultimate reality). Metafisika menguji aspek-aspek kenyataan
seperti ruang dan waktu, kesadaran, jiwa dan materi, ada (being), eksistensi,
perubahan, substansi dan sifat, aktual dan potensial, dan lain sebagainya.
Metafisika pada asasnya meneliti perbedaan antara penampakan
(appearance) dan kenyataan (reality). Ada sejumlah aliran yang mencoba
mengungkap hakikat kenyataan di balik penampakan tersebut. Misalnya aliran
naturalism dan materialism percaya bahwa kenyataan paling dasar pada prinsipnya
sama dengan peristiwa material dan natural[8].
Sejak zaman Yunani kuno sebagian besar filsafat diwarnai oleh
pemikiran-pemikiran metafisik, kendati cukup banyak juga filsuf yang meragukan
dan menolak metafisika. Para filsuf yang menolak metafisika beralasan bahwa
metafisika tidak mungkin karena melampaui batas-batas kemampuan indera untuk
membuktikan kebenaran-kebenarannya. Kebenaran-kebenaran yang dikemukakan oleh
metafisika terlalu luas dan spekulatif, sehingga tidak dapat dibuktikan dan
diukur kebenarannya[9]. Dalam perkembangannya,
metafisika kemudian dibagi lagi menjadi tiga sub cabanga, yaitu :
a.
Ontology,
mengkaji persoalan-persoalan tentang ada (dan tiada)
b.
Kosmologi,
mengkaji persoalan-persoalan tentang alam semesta, asal-usul, dan unsur-unsur
yang membentuk alam semesta
c.
Humanologi,
mengkaji persoalan-persoalan tentang hakikat manusia, hubungan antara jiwa dan
tubuh, kebebasan dan keterbatasan manusia
d.
Teologi,
mengkaji persoalan-persoalan tentang Tuhan/agama
2.2.2. Epistemologi dan Logika
Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani,
yakni episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti teori.dengan demikian epistemology adalah suatu kajian atau
teori filsafat mengenai esensi pengetahuan.
Menurut Koestenbaum (1968), secara
umum epistemology berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan
“apakah pengetahuan?”. Tetapi secara spesifik epistemology berusaha menguji
masalah-masalah yang kompleks, seperti hubungan antara pengetahuan dan
kepercayaan pribadi, status pengetahuan yang melampaui panca indera, status
ontology dari teori-teori ilmiah, hubungan antara konsep-konsep atau kata-kata
yang bersifat umum dengan objek-objek yang ditunjuk oleh konsep-konsep atau
kata-kata tersebut, dan analisis atas tindakan mengetahui itu sendiri[10].
Menurut J.F. Ferrier, epistemology pada dasarnya berkenaan dengan
pengujian filsafati terhadap batas-batas, sumber-sumber, struktur-struktur,
metode-metode dan validitas pengetahuan[11].
Logika sebagai salah satu cabang filsafat pada dasarnya adalah cara
untuk menarik kesimpulan yang valid. Secara luas logika dapat didefinisikan
sebagai pengkajian untuk berfikir secara sahih. Ada banyak cara menarik
kesimpulan. Namun secara garis besar, semua itu didigolongkan menjadi dua cara
yaitu logika induktif dan logika deduktif.
Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari
kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan
logika deduktif berhubungan dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang
umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus atau individual. Baik logika
induktif maupun logika deduktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis
yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Ketepatan penarikan kesimpulan
tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor
dan keabsahan pengambilan keputusan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur
tersebut tidak terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.
2.2.3. Aksiologi
Aksiologi merupakan kajian filsafat mengenai nilai. Nilai sendiri
adalah suatu kualitas yang kita berikan kepada sesuatu objek sehingga sesuatu
itu dianggap bernilai atau tidak bernilai. Pada masa kini objeknya lebih banyak
berupa sains dan teknologi. Peradaban manusia masa kini sangat bergantung
pada ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Berkat kemajuan pada kedua bidang
ini pemenuhan kebutuhan manusia dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Banyak
sekali penemuan-penemuan baru yang amat membantu kehidupan manusia, seperti
misalnya penemuan dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Namun di pihak lain, perkembangan-perkembangan tersebut
mengesampingkan factor manusia. Di mana bukan lagi teknologi yang berkembang
seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia, namun sering kali kini yang
terjadi adalah sebaliknya. Manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri
dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan
kemudahan bagi manusia, melainkan dia ada bertujuan untuk eksistensinya
sendiri. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang
mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri.
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang ada. Masalah nilai moral tidak bisa terlepas
dari tekat manusia untuk menemukan kebenaran. Sebab untuk menemukan kebenaran
dan kemudian terutama untuk mempertahankannya, diperlukan keberanian moral.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu
dan teknologi yang bersifat merusak ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua
golongan pendapat.
a.
Golongan
pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersikap netral terhadap nilai-nilai, bik
itu secara ontologis, mau pun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain dalam mempergunakannya,
apakah untuk kebaikan atau untuk keburukan.
b.
Golongan
kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan. Sedangkan dalam penggunaannya bahkan
pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas
moral[12].
Nilai yang menjadi kajian aksiologi ada dua, itu sebabnya aksiologi
dibagi menjadi dua sub cabang yaitu :
a.
Etika.
Kajian filsafat mengenai baik dan buruk, lebih kepada bagaimana seharusnya
manusia bersikap dan bertingkah laku, apa makna etika atau moralitas dalam
kehidupan manusia
b.
Estetika.
Nilai yang berhubungan dengan keindahan (indah dan buruk). Mengkaji mengenai
keindahan, kesenian, kesenangan yang disebabkan oleh keindahan.
KESIMPULAN
Filsafat terlahir pada awalnya adalah dikarenakan oleh keingintahuan manusia
akan hakikat kehidupannya dan hakikat suatu kebenaran. Filsafat menelaah segala
masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Oleh karena itu filsafat dikenal
juga sebagai induk dari semua ilmu “the mother of the sciences”. Hal ini sesuai
dengan arti filsafat secara bahasa yaitu cinta akan hikmat.
Dalam mencari hakikat kebenaran tersebut setiap filsuf belum tentu
menitikberatkan pada satu kajian yang sama. Dan berdasarkan objek kajian
tersebut, filsafat dibagi dalam beberapa cabang, yakni:
1.
Metafisika,
yang dibagi menjadi:
Ø Ontology
Ø Kosmologi
Ø Humanologi
Ø Teologi
2.
Epistemologi
3.
Logika
4.
Aksiologi,
terbagi menjadi dua, yaitu:
Ø Etika
Ø Estetika
[1] Jujun S.
Suriasumantri. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Penganta Populer. Jakarta:
Sinar Harapan; hal. 20-22
[2] Dra.
Zuhairini, dkk. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara;
hal. 3
[3] Dr.
Zainal Abidin. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers;
hal. 10-13
[4] Dra.
Zuhairini, dkk. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
; hal. 4-6
[5] Dr. Zainal
Abidin. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers; hal
24
[6] Dr. Redja
Mudyaharjo. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung;
hal.
[7] Dr.
Zainal Abidin. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali
Pers; hal. 26
[8] Ibid;
hal. 57-58
[9] Ibid; hal
64
[10] Ibid;
hal. 34-35
[11] Ibid; hal
40
[12] Jujun S.
Suriasumantri. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta:
No comments:
Post a Comment